
Pasti benar, beragama membutuhkan pengetahuan. Mustahil seorang bisa melaksanakan kewajiban beragama jika tak dibimbing dan dicukupi oleh pengetahuan. Pengetahuan seumpama alat yang memampukan orang beragama untuk mengenali bagian-bagian tertentu dari agama.
Bahkan iman yang sering disebut sebagai inti beragama yang paling abstrak meniscayakan kehadiran pengetahuan. “Imanmu bisa bertambah dan berkurang, pengetahuanlah yang memampukannya”, begitu kata seorang ahli agama.
Tapi pengetahuan saja cukup. Ada banyak “orang-beragama-berpengetahuan” tapi masih menumpuk-numpuk harta dengan membiarkan orang lain di sekitarnya kelaparan. Ada banyak “orang-beragama-berpengetahuan” tapi menjadikan bermewah-mewah sebagai ukuran kesuksesan. Kita memburu kesuksesan bahkan ketenaran dengan ukuran sebagaimana orang lain melakukannya. Inilah “das-Man” dalam pikiran Martin Heidegger: manusia yang tidak otentik karena terseret gaya hidup manusia kebanyakan.
Para sufi punya jalan lain. Beragama juga membutuhkan hati. “Orang-beragama-berhati” mengolah pengetahuan menjadi kesadaran, menjadi nilai yang menerangi tindakan yang akan dilakukan. Benar hatinya, benar pula tindakannya. Sebaliknya rusak hatinya, rusak pula seluruh tindakannya.
“Beragama-berhati” adalah menumbuhkan cinta sebagai dasar tindakan. Mungkin benar apa yang dikatakan Rumi, “berwudhulah dengan cinta sebelum berwudlu dengan air, karena sholat tidak boleh dilakukan dengan hati yang iri dan dengki”. Allahu a’lam[]