
Laut seumpama penegasan bahkan amsal tentang keluasan, ketakterukuran dan ketakberhinggaan. Tapi pada laut juga kita bisa menemukan garis horizon. Sebuah bentang yang menjadi batas antara apa yang terlihat dan tidak. Antara apa yang nampak dan tersembunyi.
Cobalah berdiri di tepi pantai, lihatlah ke tengah lautan, kita seumpama menemukan garis memanjang yang seolah menjadi tepi dan batas penglihatan. Di seberang horizon bisa saja kita menyangka yang ada hanyalah kekosongan dan misteri yang mungkin membuat kita ngeri.
Harus diakui, cara kita berpengetahuan, cara kita menentukan kadar kebenaran bahkan cara kita beragama dan berkeyakinan secara tak sadar kerap dipengaruhi oleh horizon kelautan. Kita lalu mendaku, cara dan metode yang kita pilih paling sahih. Kita lalu jumawa dengan menahbis diri sebagai sudah benar dalam menalar lalu menisbikan dan memvonis salah cara pandang orang lain yang berbeda dengan kita. Kitalah yang beriman sedang mereka berkubang dalam kesesatan. Kitalah yang lurus dalam jalan Tuhan sedangkan mereka adalah domba-domba tersesat yang harus diselamatkan.
Pada horizon laut saya belajar dan menemukan insight bahwa di seberang garis horizon sebagai titik batas penglihatan rupanya ada horizon-horizon berikutnya yang tak bisa saya jangkau. Keberadaannya bisa tak terduga dan tak terbaca oleh mata saya. Indera penglihatan kita sangat terbatas spektrumnya, begitu kata para ahli. Manusia hanya bisa melihat cahaya pada level gelombang antara 400 – 700 nanometer.
Pada horizon laut seharusnya kita belajar merayakan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan perbedaan bahkan ketaksamaan dengan tetap rendah hati disertai kesanggupan untuk bisa menahan diri. Sebab bagi saya, mungkin tidak bagi orang lain, hidup bukan sekadar untuk mencari jawaban yang prescriptive. Tapi untuk dijalani dengan melewati bahkan memahami pilihan-pilihan kemungkinan yang tersedia. Allahu a’lam[]
#IntuisiPagi