BlogPeta

Peta

-

- Advertisment -spot_img

Seperti yang saya yakini sebelumnya, bahwa bacaan yang bagus adalah yang bisa memantik “keterpesonaan”. Bayangkanlah seseorang yang sedang membaca, ia seolah tidak hirau dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Apakah itu tentang Lesti yang mencabut laporan aduannya, atau tentang rekonstruksi Kanjuruhan yang tidak menampilkan adanya tembakan gas air mata ke arah penonton.

Dalam keterpesonaan, bacaan yang ada di hadapannya seolah menyatu dengan dirinya. Ruang dan waktu seolah diringkus dan luruh tak terbagi. Istilah “manunggaling kawula gusti”, yang menggambarkan penyatuan jiwa manusia dengan Tuhan, mungkin bisa menjadi amsal “yang tepat” untuk melukiskan makna keterpesonaan. Atau, seperti dalam kata-kata Rumi, “If I love my self, I love you. If I love you, I love my self”.

Keterpesonaan dengan sendirinya menghadirkan konsentrasi buat si pembaca. Ia tenggelam dalam setiap kata dan kalimat. Ia masuk menyelinap ke dalam alinea dan paragraf tanpa paksaan. Ia melebur dalam diksi dan setiap prasa yang tersusun. Ia intens dalam setiap kata sambung, anak kalimat dan gagasan utama. Ia melekat dengan koma, titik dan tanda seru tanpa diminta.

Tapi ternyata bukan sekadar memesona. Bacaan yang bagus, bagi saya, adalah yang bisa memberikan gambaran yang jelas. Utuh. Seumpama peta, bacaan yang bagus adalah yang bisa menuntun langkah dan memastikan arah. Yang menerangi jalan menemukan jalan keluar. Ada rambu yang bisa diikuti kemana kaki harus melangkah. Ada petunjuk yang harus ditaati supaya ketersesatan tak berubah menjadi prustrasi.

Gambaran seumpama peta itulah yang juga saya temukan pada bacaan Nagabumi jilid ke 3. Hingga di halaman 1001, saya seakan dipapah untuk memasuki detail Negeri Atap Langit. Di kota Chang’an, saya seumpama dituntun untuk mengenal setiap jengkal banyak hal. Gerbang Kota. Pasar Timur. Kuil Dao. Istana Terlarang. Kuil Penyembah Api. Balai Pengumuman Kebijakan, dan sebagainya.

Ya. Penulis hebat, bagi saya, adalah dia yang tidak sekadar meresapi omongannya Pramudya sebagai yang sedang “berjalan menuju keabadian” tapi juga mampu meninggalkan jejak dan gambaran utuh di benak pembaca tentang banyak hal untuk terus diingat.[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you