
Agak susah mengeja namanya. Begitu kata orang-orang. Sebuah nama yang diambil bukan dari “local wisdom”. Ia diambil dari bahasa Latin, “virtus”. Artinya kebajikan. Bentuk adjektivanya adalah “virtuous”. Secara bebas, ia bisa diartikan “berbudi luhur”, noble-minded atau high minded begitu penjelasan kamus bahasa.
Ya. Virtuous adalah anak saya yang paling bungsu. Lengkapnya Virtuous Abdina Gusti. Kalau diartikan secara bebas, dia adalah “anak yang berbudi luhur hambanya Tuhan”. Insya Allah, nama ini akan menjadi jembatan dan do’a bahwa di sepanjang kehidupannya ia akan menjadi mutiara keluhuran budi karena dia adalah hamba Tuhan.
Yeay…! Dina, begitu saya memanggilnya, telah selesai menamatkan studinya. 6 tahun dia mondok di Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya. Perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan yang tak mudah. Dari usia yang masih sangat bocil dia harus pisah dari kehangatan keluarga dan dari segala kemudahan jika dia di rumah.
Saya masih percaya bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tepat untuk menempa kedewasaan, ketaatan, tanggungjawab dan kedisiplinan anak. Ini pula yang menjadi alasan menyekolahkannya di sana.
Tak selalu mulus dia menjalani masa-masa studi di pesantren. Tak selalu lempang jalan yang dia lalui. Ada saat dia ingin keluar dan melanjutkan di sekolah umum. Ada masa dia mogok karena jenuh dengan rutinitas dan lingkungan yang serba terbatas. Ada masanya dia uring-uringan dan tak mau kembali ke pondok karena hanya bersosialisasi dengan orang yang itu-itu saja. Tapi syukur Alhamdulillah dia bisa melewatinya hingga selesai. Sungguh saya bangga!
Selamat De. Ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama belajar di pesantren pasti jadi bekal yang bermanfaat. Tapi perjalanan menjadi pembelajar belum selesai dan mungkin tidak akan pernah selesai. Sebab seluruh perjalanan hidup manusia dari mulai lahir hingga menuju tubir liang lahat adalah belajar. Jadilah pembelajar yang riang gembira, penuh semangat, dan jadilah pembelajar yang berbudi luhur.[]