
Agama menyuruh untuk “menahan” bahkan “diam” jika kata-kata yang dikeluarkan tidak mendatangkan manfaat dan kebaikan. Konon, para biarawan Trappis, sebuah ordo dalam gereja Katolik juga menganut ajaran serupa. Para rahib menjalani hidup tanpa cakap dan omong. Mereka “mengunci” lisan. Hanya berdoa lalu bekerja.
Tradisi kebatinan jawa juga begitu. Dipengaruhi sufisme Islam, mereka berkeyakinan bahwa kehidupan batin yang aktif adalah sikap yang tidak boros kata dan banyak bicara. Mereka menyebut “mbatin”, sebuah sikap spiritual yang lebih menekankan diam dan asyik ma’syuk dalam hening ketimbang berceloteh tak penting.
Diam dalam Islam, tradisi para rahib juga kebatinan jawa bukan hanya sekadar “siasat” tapi juga “kebajikan”. Sebagai “siasat”, diam adalah cara untuk menghindar dari percakapan bahkan menjawab pertanyaan yang tak perlu. Sebuah syair malah menegaskan keharusan diam ketika si bodoh bicara. “Idza natoqossafiihu fala tujibhu“.
Diam juga “kebajikan”. Dalam diam, ada nilai dan tuntunan untuk menjaga lisan juga omongan. Karena diam orang bisa terhindar dari celaka atau mendapat cela. Sebuah syair menegaskan, “ikhfad lisaanaka wakhtarij min lafdzihi falmar’u yaslamu billisanihi wa ya’tub“.
Konon, inti agama adalah “tafakkur”. Tafakkur adalah “diam” atau sikap kontemplatif: Meresapi, merenungkan bahkan menyeru Tuhan dengan suara lirih, dengan sikap yang merasa lemah dan mengaku banyak salah. Bukankah kembang tumbuh tanpa kata? Bulan bergerak tanpa kegaduhan? Bahkan kata Rumi, “tinggikan kata-katamu bukan suaramu, hujanlah yang menumbuhkan bunga-bunga bukan gemuruh petir“.
Beragama, dengan itu salah satunya adalah menghaluskan lisan. Merapihkan omongan dan menertibkan pembicaraan. Beragama adalah soal akhlak juga adab. Bukankah itu tugas yang diemban oleh Nabi kita?
Tapi tengoklah hari ini, praktek beragama laksana perang. Menyampaikan pesan Tuhan seperti menghunus senjata yang kadang membuat luka. Meluncurlah kata-kata ajakan yang diseru dengan segala glorifikasinya. Umat seakan-akan kawanan serigala yang harus ditertibkan dan didisiplinkan dengan makian dan cacian. Segalanya harus dinyatakan secara jelas. Seluruhnya harus diungkapkan seterang mungkin sekalipun menyakiti. Meskipun pada akhirnya melukai.
Tapi mungkin, umat hari ini sudah sangat bebal. Tak cukup lagi bungkusan kata-kata lembut untuk menyampaikan pesan-pesan dan nasihat agama. Umat hari ini mungkin sudah sedemikian beringas, sehingga kata-kata yang menohoklah yang bisa mengubah kesadaran supaya kembali kepada jalan Tuhan.
Tapi, ada baiknya kita renungkan kata-kata Rumi ini, “hampir semua prasangka, perseteruan dan permusuhan di dunia ini berawal dari lidah. Jadilah dirimu! Dan jangan terlalu banyak bermain dengan kata-kata. Dalam lautan cinta, lidah sudah tidak memiliki nilai lagi. Pecinta adalah tanpa bahasa“.
Dan jikapun kita “terpaksa” untuk berkata-kata, maka kata-kata yang penuh penghormatan, penghargaan dan penuh cintalah yang harus kita keluarkan. Lagi menurut Rumi, “dengan hidup yang hanya satu tarikan nafas jangan tanam apapun kecuali cinta“.
Allahu a’lam[]