RefleksiGnothi Seauton

Gnothi Seauton

-

- Advertisment -spot_img

Pada sebuah inskripsi di atas pintu masuk tempat suci di Delphi terdapat tulisan, “kenalilah dirimu sendiri“. Konon, kalimat itu ditulis oleh Socrates yang ditujukan dan didedikasikan untuk Apollo, sosok dewa yang dalam tradisi Yunani dikenal sebagai dewa yang paling rasional diantara dewa-dewa lainnya.

Mengenal diri, dalam inskripsi itu ternyata telah menjadi kegiatan tertua yang dikejar manusia. Ia seakan menjadi “lubang hitam” peradaban yang mendorong hasrat manusia untuk menyingkap misterinya. Tak ubahnya “mysterium tremendum“-nya Rudolf Otto, mengenal diri telah menjadi magnet pesona yang memantik rasa penasaran dan ingin tahu.

Paparan filosofis di Barat, tuturan-tuturan bijak Konfusius di Timur, petatah-petitih para Sufi sarat makna hingga interpretasi atas kitab suci banyak menyuguhkan hasrat itu. Mengenal diri seakan menjadi titik berangkat yang paling bernilai untuk mengetahui tabir rahasia segala keberadaan. Jika Sayyid Hussein Nasr menyoal tentang “the great chain being“, maka mustahil itu diketahui jika kunci pembukanya tidak didasarkan pada pengenalan diri.

Adalah filsafat menyoal ikhwal itu. Jejak-jejak pengenalan diri telah menjadi masalah tersendiri yang menyedot perhatian banyak filsuf. Sekalipun bukan yang pertama menyoal tentang pengenalan diri, pernyataan Descartes tentang “Je pense, donc je suis” menyuguhkan cara berbeda tentang bagaimana diri dikenali.

Dalam adagium itu, Descartes menegaskan bahwa keberadaan diri hanya bisa dikenali melalui pikiran. Pikiran adalah “jantungnya” manusia, yang melalui itu ia dimengerti dan dikenali. Tapi menurut para pengkritik Descartes, pada pernyataan itu bersemayam nuktah “egologi” atau keangkuhan tentang “diri yang serba cukup” (self sufficiency).

“Diri yang serba cukup” adalah diri yang menahbis sebagai pusat, sumber dan satu-satunya muara kebenaran. Dalam “diri yang serba cukup” kehadiran orang lain bisa dibendakan bahkan dinegasikan. “Diri yang serba cukup” tak membutuhkan kehadiran orang lain. Kenapa tak butuh orang lain? Karena “orang lain adalah neraka”! Begitu menurut Sartre.

Lain halnya Nietzsche, filsuf yang konon disebut sebagai “pembunuh” Tuhan (padahal dikenal saleh ketika muda), menyuguhkan keyakinan lain bahwa “pengenalan diri” harus menjadi jalan untuk memunculkan “Der Wille zur Macht” (kehendak untuk berkuasa) yang sosok sempurnanya tampil dalam Ubermensch. Bagi Nietzsche, manusia adalah tuan untuk dirinya sendiri yang memiliki “herren moral” (moral tuan) dan bukan “herden moral” (moral budak). Diri yang diketahui dan dikenali adalah diri yang percaya pada otonomi dan kebebasan.

Nietzsche, si penembang Also Sprach Zarathustra, mendaku keyakinan bahwa pengenalan diri memerlukan keberanian untuk melampaui standar moral dan sosial yang ditentukan oleh masyarakat. Dengan lantang ia menulis,”Menjadi diri sendiri dalam dunia yang terus-menerus mencoba membuatmu menjadi sesuatu yang lain adalah pencapaian terbesar.”

Di tempat lain, dalam aforismenya yang memukau Nietzsche berbicara tentang “topeng”. Lalu ia mengimani bahwa pengenalan diri meniscayakan keberanian untuk menanggalkan topeng itu. Ia bersabda, “setiap jiwa adalah labirin; untuk mengenalnya, kau harus bersedia tersesat.”

Dalam aforisme ini, Nietzsche menegaskan bahwa diri sejati sering disembunyikan di balik topeng-topeng sosial dan ilusi, dan perjalanan menuju pengenalan diri memerlukan usaha membongkar ilusi itu. Setelah membongkar, kata Nietzsche, manusia harus berani “menemukan maknanya sendiri di dunia yang tanpa makna”. Dengan ini, ia menampik bahwa nilai-nilai tradisional bahkan moralitas yang disodorkan agama senyatanya tidak memiliki dasar mutlak. Manusia, kata Nietzsche, harus menciptakan nilai-nilai baru yang selaras dengan dirinya sendiri.

Di sudut hening kehidupan, menepi dari keriuhan sejarah dan keramaian peradaban, para sufi menyuguhkan rumusan lain tentang pengenalan diri, Rumi misalnya. Sosok Guru Spiritual abad ke-13 yang karyanya banyak diapresiasi. Melalui puisi-puisinya, Rumi berbicara tentang cinta, pencarian makna, dan hubungan manusia dengan Tuhan, adalah tema-tema universal yang melampaui batasan agama maupun budaya. “Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing, there is a field. I’ll meet you there.” (Di luar gagasan tentang kesalahan dan kebenaran, ada sebuah ladang. Aku akan menemuimu di sana), begitu kata Rumi.

So, bagaimana Rumi menyoal tentang pengenalan diri?

Konon, menurut Rumi, pengenalan diri harus dimulai dari penghancuran ego (nafs) yang disebutnya sebagai penghalang utama perjalanan mengenali diri, “hancurkan penjara egomu, dan kau akan melihat dunia luas yang penuh keajaiban“, begitu menurutnya. Bagi Rumi, pengenalan diri adalah perjuangan melepaskan kerangkeng dan tali-tali duniawi disertai kesadaran tentang esensi ruh yang suci.

Lalu Rumi meyakini bahwa sumber pengenalan diri ada di hati. “Di dalam hatimu ada sebuah lilin; nyalakanlah ia untuk menemukan jalanmu.” Bagi Rumi, hati adalah pusat cahaya Ilahi yang bisa membimbing manusia menemukan dirinya. Karena itu, membersihkan hati dari kekotoran duniawi adalah langkah penting dalam pengenalan diri.

Dalam syair-syairnya, Rumi sering menggambarkan perjalanan pengenalan diri sebagai perjalanan pulang menuju Tuhan.”Kita semua lahir dari Sang Kekasih, dan kita rindu untuk kembali. Diri sejati kita adalah hembusan Ilahi yang memanggil kita pulang“. Rumi melihat kehidupan manusia sebagai pencarian untuk kembali kepada akar dan sumber asalnya, kepada Alpha dan Omega kehidupan, yaituTuhan. Dengan tegas ia menyatakan, bahwa pengenalan diri tidak terpisah dari pengenalanTuhan.

Dan, puncak pengenalan diri menurut Rumi adalah mencapai kesadaran kesatuan dengan Tuhan. “Aku adalah sehelai seruling bambu yang merindukan Sang Pemain. Dalam suara ini, kau mendengar duka perpisahan dan harapan akan pertemuan“. Melalui syair ini, Rumi meyakini bahwa diri sejati manusia adalah bagian dari Tuhan, dan hanya dengan mengenali dan menghayati hakikat ini, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Paparan-paparan rasional filosofis yang terasa gahar juga suguhan sejuk berbungkus sufisme tentang pengenalan diri adalah ikhtiar manusia menemukan dirinya. Tampak beda dalam mengungkapnya. Terlihat kontras dalam menelisiknya. Tapi dua-duanya, diikat oleh kepentingan yang sama untuk menjawab pertanyaan besar yang tertulis dalam inskripsi Delphi tentang siapa sebenarnya manusia. Tie antropus estier?! Allahu a’lam[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you