
“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati! Bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apapun yang diperlukan, tetapi mencintai semua itu” (Friedrich Nietzsche)
Amor Fati. Pernyataan ini konon diasalkan pada filsuf yang sering disebut sebagai “pembunuh” Tuhan, yang padahal di masa mudanya dikenal sebagai orang saleh: Friedrich Nietzsche.
Amor Fati berarti cinta kepada takdir. Saya menduga ini bukan jenis cinta sentimental. Bukan pula cinta yang diciptakan dari pengharapan dan sejenis pelipur lara. Ini cinta yang keras kepala. Cinta yang kata Nietzsche, tak ingin sesuatu pun berubah, tak masa depan, tak masa lalu, bahkan tak kekekalan itu sendiri.
Di dunia modern yang selalu bergegas menuju ke depan, bersama janji kemajuan, keunggulan, perbaikan, bahkan transformasi, gagasan ini seperti bunyi lonceng dari sebuah zaman yang asing di telinga. Dunia hari ini terbiasa menampik duka, menawar derita supaya tak menimpa, lalu mengatur siasat agar tidak ada yang menyimpang dari jalan lurus menuju kebahagiaan. Tapi Nietzsche, filsuf yang sering dilukiskan sebagai sosok dinamit ini seolah mengguncang kita: bisakah mencintai apa yang tak bisa diubah?
Amor fati bukan sekadar menerima, saya kira. Bukan pula sikap bertahan. Ia adalah kesediaan untuk menatap masa lalu tanpa dendam, melibati masa kini tanpa penyesalan, dan menyongong masa depan tanpa tuntutan harus begini dan harus begitu. Mencintai apa pun yang datang, seluruhnya, bahkan ketika yang datang itu adalah penderitaan bahkan kehancuran. Ya, amor fati adalah sikap dan kesediaan mencintai setiap luka, setiap kehilangan, bahkan setiap kejatuhan.
Nietzsche, barangkali, sedang berbicara tentang kebesaran. Tapi kebesaran dalam arti yang sunyi. Kebesaran yang tidak ditemukan dalam kemenangan, prestasi, ataupun pencapaian. Ia muncul justru saat manusia bersedia merengkuh segala yang asing, yang pahit, yang tak diminta, dan menyebutnya sebagai milik sendiri. Seperti musim gugur yang diterima pohon, seperti senyap yang dipeluk oleh malam.
Dan di sinilah letak keberanian itu. Cinta yang tidak mengharuskan pamrih. Cinta yang tidak ingin mengubah sejarah agar terlihat lebih baik dalam ingatan dengan cahaya kenangan. Cinta yang tidak berkata “andai dulu…” atau “semoga nanti…”, tetapi justru berkata: “Inilah aku. Inilah hidupku. Dan aku mencintainya.”
Saya menduga, Nietzsche tidak menawarkan penghiburan. Ia menawarkan pembebasan. Sebab barangkali, manusia menjadi besar dan beroleh statusnya sebagai “manusia unggul” (uebermench) ketika ia tidak menolak takdirnya, justeru ia menerima dan mencintainya. Tabik!
Allahu a’lam.[]