
“Segala sesuatu yang kita dengar adalah pendapat, Bukan fakta. Segala sesuatu yang kita lihat adalah perspektif bukan kebenaran” (Marcus Aurelius)
Kalimat yang terbaca itu seperti sebuah catatan kaki, mungkin juga persaksian. Dan konon, Marcus Aurelius lah yang menulisnya. Kalimat itu mungkin bukan untuk didengar siapapun. Tak menunjuk kepada siapapun. Boleh jadi, ia ditujukan hanya untuk dirinya sendiri. Untuk Marcus sendiri, sang Kaisar.
Kalimat itu seolah menegaskan bahwa kita hidup dalam semacam gema, yang pantulannya sampai kepada kita hari ini. Bunyi-bunyian berseliweran. Gambaran-gambaran berkelebat. Tapi semua adalah bayang-bayang, bukan tubuh itu sendiri.
Kita mendengar, tapi pendengaran adalah ruang tafsir. Kita melihat, tapi penglihatan bisa jadi adalah cermin yang retak. Maka dunia pun hadir dalam fragmen, melalui serpihan yang ditambal dan direkayasa oleh nalar, oleh prasangka, dan oleh harapan.
Hal semisal disampaikan pula oleh Goethe. Bahwa menurutnya, “manusia tidak melihat dunia sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana dirinya”. Dan Marcus –yang barangkali merasa sendiri di antara patung-patung kekuasaan, telah lebih dulu tahu: fakta bukanlah sesuatu yang jatuh begitu saja ke pangkuan, melainkan dibentuk, disusun, dan diputuskan. Seringkali oleh yang paling nyaring, oleh yang paling berkuasa. Atau, oleh mereka yang sedang membuat rekayasa.
Karena itu kebenaran, yang sering diperjuangkan dengan darah bahkan nyawa, bisa menjadi seumpama lanskap kabut. Ia bisa tak tampak jelas, hanya bisa dijangkau oleh diam yang jernih. Oleh kesediaan untuk tak buru-buru menyimpulkan. Oleh kesanggupan melakukan epoche. Dan oleh kerendahan hati untuk berkata: “mungkin aku belum tahu”.
Di sinilah, kalimat Marcus menjelma sebagai peringatan yang menggedor kesadaran. Bahwa dalam zaman ketika opini dilumuri algoritma. Ketika pandangan dijejali sorak-sorai viral di media sosial, kita mesti mengingat dan sadar, bahwa tidak semua yang diyakini benar itu memang benar. Dan tidak semua yang disangka salah itu tak mengandung hikmah.
Sebab hidup, seperti yang disadari Marcus, bukan perkara membenarkan dunia dan memenangkannya. Tetapi menjalaninya dengan kejernihan dan kejelian. Dan menerima bahwa barangkali, justru dalam ketidaktahuan itulah, kita bisa belajar menjadi bijak. Dan lebih waspada. Tabik!
Allahu a’lam[]