
“Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak layak dijalani” (Socrates)
Saya kira pernyataan Socrates ini adalah seruan abadi bagi manusia untuk tidak menjalani hidup secara pasif, dan tanpa kesadaran. Dalam dunia yang penuh kebisingan, rutinitas, dan dorongan instan, ungkapan ini menghadirkan sesuatu yang menuntut: Apakah kita sungguh hidup, atau sekadar mengikuti arus?
Bagi Socrates, kehidupan yang otentik meniscayakan perenungan di dalamnya. Sebuah pencarian terhadap makna, kebenaran, dan kebajikan. Hidup bukan sekadar keberlangsungan biologis, bukan pula sekadar pencapaian sosial. Hidup sejati, salah satunya adalah kesediaan untuk bertanya: Siapakah aku? Mengapa aku berpikir dan bertindak seperti ini? Apa yang benar? Apa yang baik?
Saya kira, apa yang dituturkan Socrates bukan tawaran kemewahan intelektual, melainkan kebutuhan jiwa. Tanpa berpikir, bisa saja kita menjadi korban kebiasaan, propaganda, atau ilusi kebenaran. Lalu kita kehilangan arah, terjebak dalam kehidupan yang dangkal, bahkan menipu diri sendiri. Sebaliknya, dengan berpikir, kita membuka ruang untuk kejujuran, pertumbuhan, dan transformasi. Dengan ini, kita belajar hidup dengan niat, bukan sekadar reaksi.
Namun berpikir, dalam konteks Socrates, bukanlah sekadar proses logis. Di dalamnya ada keberanian untuk mengakui ketidaktahuan, kerendahan hati untuk belajar, dan komitmen untuk hidup secara etis. Ini adalah jalan sunyi, yang sering kali tidak populer, bahkan membawa risiko, seperti yang dialami Socrates sendiri. Tapi justru di sanalah martabat manusia dijunjung, ketika ia bersedia menghidupi kebenaran yang ia temukan, meski harus membayar mahal.
Dalam dunia hari ini, di mana banyak orang menjalani hidup demi penampilan, angka, dan kecepatan, saya meyakini ajakan Socrates ini adalah teguran sekaligus undangan untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya: Sungguhkah aku hidup? Ataukah aku sedang tidur dalam kehidupan yang tampak sibuk, namun sunyi dari makna?
Hidup yang dipikirkan bukan hidup yang sempurna, tetapi hidup yang terus mencari, bertanya, dan belajar mencintai kebenaran. Saya kira, di situlah, hidup menjadi layak dijalani. Allahu a’lam.
Tabik.[]