PhilosophiaHidup Layak Menurut Socrates

Hidup Layak Menurut Socrates

-

- Advertisment -spot_img

Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak layak dijalani” (Socrates)

Saya kira pernyataan Socrates ini adalah seruan abadi bagi manusia untuk tidak menjalani hidup secara pasif, dan tanpa kesadaran. Dalam dunia yang penuh kebisingan, rutinitas, dan dorongan instan, ungkapan ini menghadirkan sesuatu yang menuntut: Apakah kita sungguh hidup, atau sekadar mengikuti arus?

Bagi Socrates, kehidupan yang otentik meniscayakan perenungan di dalamnya. Sebuah pencarian terhadap makna, kebenaran, dan kebajikan. Hidup bukan sekadar keberlangsungan biologis, bukan pula sekadar pencapaian sosial. Hidup sejati, salah satunya adalah kesediaan untuk bertanya: Siapakah aku? Mengapa aku berpikir dan bertindak seperti ini? Apa yang benar? Apa yang baik?

Saya kira, apa yang dituturkan Socrates bukan tawaran kemewahan intelektual, melainkan kebutuhan jiwa. Tanpa berpikir, bisa saja kita menjadi korban kebiasaan, propaganda, atau ilusi kebenaran. Lalu kita kehilangan arah, terjebak dalam kehidupan yang dangkal, bahkan menipu diri sendiri. Sebaliknya, dengan berpikir, kita membuka ruang untuk kejujuran, pertumbuhan, dan transformasi. Dengan ini, kita belajar hidup dengan niat, bukan sekadar reaksi.

Namun berpikir, dalam konteks Socrates, bukanlah sekadar proses logis. Di dalamnya ada keberanian untuk mengakui ketidaktahuan, kerendahan hati untuk belajar, dan komitmen untuk hidup secara etis. Ini adalah jalan sunyi, yang sering kali tidak populer, bahkan membawa risiko, seperti yang dialami Socrates sendiri. Tapi justru di sanalah martabat manusia dijunjung, ketika ia bersedia menghidupi kebenaran yang ia temukan, meski harus membayar mahal.

Dalam dunia hari ini, di mana banyak orang menjalani hidup demi penampilan, angka, dan kecepatan, saya meyakini ajakan Socrates ini adalah teguran sekaligus undangan untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya: Sungguhkah aku hidup? Ataukah aku sedang tidur dalam kehidupan yang tampak sibuk, namun sunyi dari makna?

Hidup yang dipikirkan bukan hidup yang sempurna, tetapi hidup yang terus mencari, bertanya, dan belajar mencintai kebenaran. Saya kira, di situlah, hidup menjadi layak dijalani. Allahu a’lam.

Tabik.[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you