RefleksiMenjadi Guru Besar

Menjadi Guru Besar

-

- Advertisment -spot_img

Hari ini 20 orang Profesor atau Guru Besar UIN SGD Bandung dikukuhkan. Kata Profesor ataupun Guru Besar bisa terdengar berat juga istimewa, dan memang seharusnya demikian. Sebab di balik tiap kata, tersimpan tanggung jawab yang tak selalu bisa dipangkas oleh sekadar pidato seremonial.

The only true wisdom is in knowing you know nothing,” begitu katanya Socrtaes. Boleh jadi, di sinilah ironi gelar Guru Besar bermula. Semakin tinggi ilmunya, semakin dalam pula kesadaran tentang batas pengetahuan. Seorang Guru Besar bukan “yang paling tahu”, tetapi yang paling sadar bahwa mengetahui adalah kerja yang tak kunjung selesai. Ia bukan menara gading, tapi jendela dan pintu yang terus terbuka bagi cahaya baru pengertian dan pemahaman.

Karena itu, menjadi Guru Besar bukan hanya soal epistemologi, tetapi juga soal keberpihakan. Maka benarlah apa yang dikatakan Kuntowijoyo, bahwa “ilmu adalah bagian  dari proses historis untuk memanusiakan manusia“. Di sana ada tanggung jawab kultural, yaitu menjaga ilmu dari kekakuan dengan tetap kontekstual. Ilmu bukan monumen peradaban yang hanya berhenti di perpustakaan, tapi arus hidup yang harus mengalir di tengah masyarakat. Menjawab dan merawat kehidupan.

Profesor. Guru Besar. Dan sebutan ini pun mengingatkan saya pada pertanyaan eksistensial yang diajukan Martin Heidegger: “What does it mean to be?” Pertanyaan ini, meski filosofis, seharusnya mengalun dalam setiap laku seorang Guru Besar, yang tidak hanya mengajarkan teori, tetapi menunjukkan bagaimana menjadi. Bagaimana hadir secara utuh sebagai pribadi yang berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab. Menjadi Guru Besar, dengan demikian, bukan hanya soal keberhasilan akademik, melainkan juga laku hidup yang mencerminkan integritas dan kebijaksanaan.

Di suatu negeri, ketika gelar akademik menjadi barang dagangan dan buruan tapi abai pada moral dan kejujuran intelektual, seorang Guru Besar rasanya harus menjadi lonceng pengingat. Bahwa yang membuat seseorang besar bukan angka sitasi, jumlah artikel yang dimuat di jurnal internasional atau panjangnya CV, melainkan kesetiaannya pada proses berpikir yang jernih, pada keikhlasan membimbing, pada keberanian menyuarakan yang mungkin tak populer.

Saya kira, seorang Guru Besar yang sejati tak akan larut dalam tepuk tangan, melainkan akan terus setia dan tekun membaca buku, mencatat ulang gagasan, menyimak mahasiswa yang berbicara lirih ataupun menggugat, dan menuliskan ulang dunia dalam cara yang lebih bijaksana.

Ia tahu, ilmu bukan pencapaian, melainkan jalan. Dalam jalan itu, seorang Guru Besar berjalan paling depan bukan untuk memimpin dengan angkuh, tetapi menjadi kompas dan penunjuk arah untuk sebuah tindakan. Dalam diamnya yang penuh makna, ia berkata: “marilah berpikir bersama, mari bertanya bersama, mari bertindak bersama…” Dan saya kira, menjadi Guru Besar adalah tentang menjadi. Menjadi lentera di tengah kabut. Menjadi saksi di tengah ketergesaan. Dan, menjadi suara yang tetap lirih, namun jernih.

Jangan larut dalam lukamu, karena kelak luka itu akan menjadi penyembuhmu,” begitu kata Rumi. Demikian pula ilmu. Ia lahir dari kegelisahan, tumbuh dan dihidupi oleh pertanyaan, dan menemukan tujuannya bukan pada kepastian, tapi pada keikhlasan untuk terus mencari, dan mencari. Allahu a’lam[]

Tabik.

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you