
“Kadang Tuhan tidak menunggu kita di kuil, tapi di wajah yang tak kita kenal, di tangan yang kita tolak, di kisah yang tak pernah kita baca” (Paus Franciscus)
Sejarah tak selalu ditulis oleh mereka yang berkuasa, tetapi kadang berasal dari mereka yang memilih untuk hadir. Paus Franciscus telah pergi, tetapi seperti daun tua yang jatuh dari pohon, kepergiannya meninggalkan jejak yang tak gampang disapu angin.
Hari ini, dunia kehilangannya, bukan hanya sebagai kepala Gereja Katolik, melainkan sebagai hati yang terbuka di tengah kecamuk dan sekat-sekat zaman yang mudah tersulut api amarah dan kebencian.
Paus datang bukan sebagai pemimpin dalam arti hierarki, meski itulah takdir institusionalnya, melainkan sebagai seorang yang tampak enggan dengan jubah kebesaran. Ia memilih berjalan kaki ke tempat-tempat yang dilupakan, berbicara kepada yang tak memiliki suara, dan mendengar yang bahkan merasa Tuhan pun telah jauh. Dalam dirinya, jabatan bukanlah mahkota, tetapi beban yang harus diterangi oleh cinta dan kasih sayang.
Konon diceritakan, saat ia memilih nama “Franciscus”, bukan dari leluhur Latin atau santo agung yang gemilang, melainkan dari Fransiskus dari Assisi. Kita kemudian tahu ia sedang memberi isyarat, bahwa keberpihakan pada yang kecil, yang tertindas, yang dilupakan, adalah panggilan spiritual yang paling nyata. Seperti kata filsuf Emmanuel Levinas, “Etika muncul dari wajah yang lain, yang menatap kita, yang meminta kita bertanggung jawab.”
Paus Franciscus menanggapi wajah itu, tak hanya dari altar, tetapi dari jalanan. Ia bicara tentang toleransi, tapi tidak seperti dokumen-dokumen dingin di ruang diplomasi.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Paus mencium tangan Imam Besar Mesjid Istiqlal, Prof. Dr. Nazarudin Umar, MA. Bahkan ketika berkunjung ke Abu Dhabi, ia memeluk memeluk Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, dan menyebutnya sebagai “saudara”. Dalam Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan yang mereka tandatangani bersama, disebutkan, “Iman membawa seorang mukmin untuk melihat pada diri orang lain seorang saudara yang harus didukung dan dicintai.“
Paus tidak sedang bicara tentang persamaan dogma agama. Ia bicara tentang keberanian untuk mendekap perbedaan, tentang harapan bahwa dari iman yang tulus akan lahir penghormatan, bukan penguasaan.
Dari catatan perjalanannya, ketika ia berkunjung ke Irak tahun 2021, di tengah ancaman keamanan dan bayang-bayang trauma perang, ia berdoa di Ur, tempat lahirnya Ibrahim, nenek moyang tiga agama besar. Di sana, ia tidak bicara sebagai penginjil, melainkan sebagai peziarah. Ia berkata: “Dari tempat ini, mari kita menegaskan bahwa agama harus melayani perdamaian dan persaudaraan.”
Saya kira, inilah paradoks yang terus hidup dalam dirinya. Seorang pemimpin besar yang sering memilih menjadi kecil. Seorang yang merasa penting untuk mencuci kaki para narapidana Muslim di penjara ketimbang sekadar berkhotbah dari atas mimbar. Ia membawa Injil bukan sebagai kitab yang menghakimi, tapi sebagai cahaya yang memberi kehangatan.
Banyak yang tak setuju dengannya, dari dalam maupun luar gereja. Tapi mungkin justru di situlah keistimewaannya. Ia tidak berusaha untuk disukai, tapi berusaha menjadi otentik. Menjadi dirinya sendiri. Paus Franciscus, dengan segala kerendahannya, mengajarkan bahwa keagungan tidak harus bersuara keras.
Ia meninggal bukan di tengah perang doktrin, melainkan dalam bayang cahaya kecil dari doa-doa yang pernah ia panjatkan, untuk dunia yang bersaudara. Dunia yang damai bukan karena seragam tanpa beda, tapi karena saling mendengarkan. Dalam salah satu homilinya (pewartaan sabda Tuhan) yang tak banyak dikutip, ia berkata, “Kadang Tuhan tidak menunggu kita di kuil, tapi di wajah yang tak kita kenal, di tangan yang kita tolak, di kisah yang tak pernah kita baca.”
Kini, kita tinggal melambungkan doa. Bukan hanya untuk jiwanya, tapi untuk warisannya. Bahwa toleransi bukan sekadar etika sosial, melainkan tugas iman. Di antara retakan zaman, Paus Franciscus telah mengirim isyarat, bahwa kemuliaan agama terletak bukan pada seberapa kuat kita menegaskan kebenaran, melainkan pada seberapa dalam kita mampu mencintai dan menyayangi sesama.
Dan mungkin, itu sudah cukup untuk menjadikannya abadi. Requiem aeternam Pope! Allahu a’lam.
Tabik.[]