RefleksiPIKIRAN (Belajar Dari Rumi)

PIKIRAN (Belajar Dari Rumi)

-

- Advertisment -spot_img

Jika kau tak tahu dimana tempat pikiranmu, bagaimana mungkin kau tahu tempat Pencipta pikiran” (Jalaludin Rumi)

Sesekali, kita mungkin pernah membayangkan pikiran itu seperti ruang dengan batas yang jelas. Seperti kamar dengan jendela yang bisa dibuka. Seperti perpustakaan yang bisa dikunjungi kapan saja. Kita duduk, lalu berpikir —dan dengan itu kemudian kita merasa tahu: bahwa pikiran itu ada di kepala. Ternyata ia adalah entitas yang bersemayam di balik dahi. Tapi benarkah begitu?

Rumi bertanya: Jika kau tak tahu di mana tempat pikiranmu, bagaimana mungkin kau tahu tempat Pencipta pikiran?

Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya kira. Karena mungkin, sebagaimana banyak hal dalam hidup, ia tidak selalu menuntut jawaban. Rasanya, Rumi meminta kita untuk jeda. Berhenti sejenak. Melonggarkan ikatan logika. Mengendurkan kebiasaan kita yang selalu menunjuk dan memberi nama.

Sungguh. Kita hidup dalam dunia dan kadang membutuhkan kepastian. Tempat adalah sesuatu yang harus bisa dipetakan. Tapi pikiran bukan peta. Ia bergerak. Ia bisa hadir di tubuh yang luka, atau pada senyap sehabis hujan. Ia bisa muncul di malam ketika kita terjaga, tak tahu apa yang kita pikirkan. Ia bisa tiba dari luar kita, seperti suara yang tak kita panggil.

Dan jika pikiran pun tak tahu di mana ia berada, bagaimana dengan Dia yang menciptakan pikiran itu? Apakah bisa kita letakkan dalam satu sudut bahasa, satu definisi, suatu doktrin?

Tuhan yang kita sebut dalam doa. Atau yang kita lisankan dalam permintaan, mungkin bukan “ada di atas sana.” Atau “di dalam sini.” Mungkin, seperti juga puisi, Tuhan bukan sesuatu yang bisa dijelaskan, tapi dialami. Seperti cahaya yang tak bisa digenggam tapi terasa di kulit. Seperti angin yang luput direngkuh tapi terasa menghembus di rambut. Seperti kehilangan. Seperti rindu.

Dugaan saya. Rumi mengajak kita bukan untuk menjelaskan Tuhan, tapi untuk mengakui bahwa kita pun tak benar-benar bisa memahami pikiran kita sendiri. Dan barangkali, di sanalah —di batas antara ketidaktahuan dan keheningan— iman perlahan tumbuh. Menebal, lalu membesar.

Allahu a’lam[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you