
“Kebenaran selalu sederhana dan jujur, sementara kebohongan selalu rumit dan berkelok-kelok” (Leo Tolstoy)
Kebenaran, kata Tolstoy, adalah sesuatu yang sederhana dan jujur. Lalu secara tak sengaja saya menemukan tuturan seorang sufi: “Al-ḥaqqu yubdi wa lā yasta’thir.” Kebenaran itu menampakkan diri, tapi tak pernah menuntut sorotan.
Ia seperti dzikir yang tak bersuara, yang mengalir perlahan dalam dada orang-orang yang telah selesai mencari.
Kita hidup di zaman yang gemar menyamarkan. Di mana gema lebih dicari daripada makna. Di mana kata-kata dirangkai bukan untuk menyampaikan, tapi untuk menyembunyikan. Maka kebenaran sering terasa asing, sebab ia tak berbelit. Ia lurus. Ia mengarah pada cahaya yang kita tahu ada, tapi sering kita pejamkan mata terhadapnya.
Sedangkan kebohongan. Ia sibuk merancang labirin. Ia tak ingin ditemukan, tapi ingin dipercaya. Dan untuk itu, ia menciptakan bayangan dari bayangan. Ia menjahit kegelapan dengan benang-benang logika yang tampaknya rapi, tapi rapuh. Seperti Fir’aun yang mengklaim dirinya Tuhan, kebohongan selalu butuh panggung yang tinggi untuk menutupi kekosongan di dalam.
Sementara kebenaran, seperti Nur yang disebut dalam al-Qur’an, tidak berteriak, tapi menuntun. Ia hadir di hati yang hening, di kalbu yang tak lagi dipenuhi hasrat akan kemenangan atau pengakuan. Ia adalah suara yang terdengar hanya oleh mereka yang bersedia mendengar dengan jiwa.
Barangkali inilah mengapa para wali diam ketika dihina dan bersinar ketika dilupakan. Mereka tahu, yang sejati tak perlu dibela dengan mulut, cukup dengan menjadi. Dan menjadi itu, bukan tentang berkata, tapi tentang berada dalam kebenaran yang tak dibuat-buat.
Kita mendekati Tuhan bukan dengan kerumitan, tapi dengan kesederhanaan yang menyerah. Dan mungkin, kebenaran tak lain adalah kepulangan: kembali kepada yang Esa, melalui jalan yang tak perlu dipoles, karena ia memang telah terang dari awalnya. Allahu a’lam.
Tabik.[]