
“Kita bangun setiap pagi dan mengenakan wajah yang dunia inginkan. Hari demi hari, wajah itu melekat, sampai akhirnya kita lupa wajah asli kita. Dan kitapun hidup sebagai bayangan dari keinginan orang lain” (Franz Kafka)
Franz Kafka, konon pernah menyatakan ini. Sebuah pernyataan yang mengusik benak, dan kerap menjadi gema dari kegelisahan yang paling sunyi dalam diri manusia. Rasanya, Kafka tidak hanya berbicara tentang topeng, tetapi tentang kehilangan jati diri atau aku yang otentik dalam ritme dunia yang tak memberi ruang untuk kejujuran batin.
Setiap pagi, bahkan ketika mulai membuka mata, kita sudah mengenakan sebuah wajah, bukan wajah yang lahir dari kejujuran, melainkan wajah yang telah diasah oleh ekspektasi, dibentuk oleh tatapan orang lain, dan dibebani oleh harapan-harapan yang mungkin bukan milik kita.
Di tempat lain, Simone de Beauvoir meneguhkan pernyataan Kafka di atas, “seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan. Saya kira, pernyataan ini tak hanya bicara tentang gender, melainkan tentang bagaimana identitas dibentuk, dipahat, bahkan dipaksakan oleh struktur sosial.
Kita tidak serta-merta menjadi diri sendiri, kita dibentuk oleh lensa orang lain dan oleh ekspektasi yang bukan berasal dari diri kita sendiri. Dalam proses itu, kita pun menjauh dari pusat keberadaan kita sendiri.
“Barang siapa melawan monster, hendaklah ia berhati-hati agar jangan sampai ia sendiri menjadi monster,” begitu kata Nietzsche. Dalam usaha tanpa henti memenuhi harapan, dalam pertempuran diam melawan penolakan dan kegagalan, kita perlahan kehilangan arah. Bukan lagi menjadi diri sendiri, melainkan bayangan yang lihai berpura-pura, terlatih untuk menyenangkan, namun nihil kejujuran.
Kafka seakan menggugah kesadaran purba dalam diri kita: bahwa sebenarnya ada bagian dari kita yang tertinggal, yang menunggu untuk disapa dan disentuh kembali, yang tak lagi bicara karena terlalu lama diabaikan.
Dalam kesunyian, mungkin kita bisa mendengar suara jujur dari dalam: “Tidak ingin sempurna, hanya ingin nyata”. Sebab seperti yang dikatakan seorang bijak, “satu-satunya perjalanan yang sejati adalah perjalanan ke dalam diri sendiri.”
Maka barangkali sudah saatnya kita “pulang”, bukan ke rumah yang terlihat, tetapi ke diri yang terlupakan dan kerap diabaikan. Allahu a’lam.
Tabik.[]