
“Logika yang sehat tidak menggantungkan nilai pada jumlah tangan yang menepuk, tapi pada ketenangan batin yang tidak diguncang oleh naik turunnya penerimaan.” (Seneca)
Pernyataan yang konon diasalkan kepada Seneca ini, bila direnungkan, seakan menggema dari ruang sunyi para sufi yang telah lama memahami bahwa nilai sejati tidak lahir dari pengakuan luar, melainkan dari kejernihan jiwa yang telah selesai dengan dirinya.
Di tengah kehidupan yang riuh dengan pujian dan cela, penerimaan dan penolakan, manusia cenderung menakar dirinya berdasarkan sorak sorai. Tapi para sufi telah lama berjalan di jalan sepi, jauh dari keramaian sorotan. “Jangan puas hanya dengan tepuk tangan. Hidup bukan panggung. Pergilah ke dalam, temui Sang Pemilik Kehidupan,” begitu kata Rumi. Pasti, ini bukan anjuran bahkan perintah menjauh dari dunia, tapi sebuah isyarat, bahwa pusat makna bukan di luar, melainkan di kedalaman hati yang sunyi.
Senyatanya, Seneca berbicara tentang ketenangan batin, dan sufisme menyebutnya sebagai “sakinah”, sebuah kedamaian yang turun ketika hati tidak lagi digerakkan oleh ego, ambisi, atau ketakutan akan penolakan. Seorang sufi tidak bertanya: “Apakah aku diterima oleh manusia?” Tapi ia bertanya: “Apakah aku diterima oleh Yang Maha Melihat?”
Disebutkan, al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin, mengingatkan: “Barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mengorbankan ridha Allah, maka Allah akan meninggalkannya dan manusia pun tidak akan pernah ridha kepadanya.” Di sinilah logika Seneca dan hikmah sufistik bersua: bahwa kebebasan batin lahir dari melepaskan kebutuhan untuk terus-menerus dipuji, dari keberanian menempuh jalan sunyi demi kejujuran diri.
Pernyataan Seneca di atas, kiranya mengajak kita menata ulang pijakan. Bahwa hidup yang sejati tidak digerakkan oleh ekspektasi publik, tetapi oleh orientasi batin yang lurus. Di tengah dunia yang gemar menilai berdasarkan jumlah like, angka dan popularitas, suara Seneca, seperti juga keyakinan para sufi, datang sebagai oase: ajakan untuk kembali ke dalam, ke ruang jiwa, tempat kita bisa berdamai, bukan karena dunia “mengiyakan” kita, tetapi karena kita telah “menemukan” kediaman dalam keheningan. Allahu a’lam.
Tabik.[]