
Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar di sepanjang jalan. Lagu-lagu perjuangan lamat-lamat mengalun mengajak kita untuk mengingat. Namun, jauh di ruang batin generasi muda, ada kisah lain yang sedang tumbuh diam-diam memengaruhi dan memberi inspirasi: Kisah tentang laut luas, mimpi yang tak bisa dibeli, dan sebuah pencarian yang tak pernah selesai, One Piece.
Apa yang menjadikan kisah ini begitu kuat menghipnotis kesadaran sebagaian anak muda? Barangkali, karena ia bertutur tentang hal yang sangat mendasar: kebebasan untuk bermimpi, untuk memilih jalan sendiri, untuk menantang kekuasaan tanpa takut kehilangan segalanya. Monkey D. Luffy, seperti yang saya temukan dalam sinopsis kisahnya, bukan tokoh sempurna. Ia keras kepala, polos, dan tak pernah tertarik pada politik. Tapi justru di situlah letak daya magisnya: ia tidak ingin menguasai dunia, ia hanya ingin menjelajahinya. Dengan hati yang bebas.
Di tengah gegap-gempita menjelang perayaan kemerdekaan, rasanya, kita jarang menemukan ruang untuk bertanya: apa makna kemerdekaan dalam kehidupan sehari-hari? Apakah itu berarti bebas dari penjajah, atau bebas dari ketakutan untuk menjadi diri sendiri? Apakah kita sungguh merdeka jika sejarah hanya diceritakan oleh mereka yang berkuasa, dan suara-suara kecil diredam karena dianggap mengganggu stabilitas?
Saya kira, One Piece hadir sebagai cermin. Ia menunjukkan bahwa dunia yang indah seringkali berdiri di atas luka, bahwa ada sejarah yang hilang, dan bahwa mereka yang duduk di singgasana kuasa tak selalu benar. Generasi muda menyambut cerita ini bukan karena ingin menjadi bajak laut, tapi karena ingin merasakan bahwa mimpi mereka sah untuk diperjuangkan.
Di sisi lain, kekhawatiran negara terhadap fenomena ini bukan tak berdasar. Ketika imajinasi kolektif lebih percaya pada narasi fiksi dibanding pidato kenegaraan, itu berarti ada jarak yang makin lebar. Namun, ketimbang menakuti, barangkali ini saatnya negara mendengarkan. Sebab yang dicari anak-anak muda hari ini bukan pemberontakan, tapi kejujuran. Mereka dahaga cerita yang tidak dibuat untuk mendikte, tetapi untuk mengajak berpikir.
Dan memang, kekhawatiran itu seharusnya tak perlu. Mungkin One Piece justru sedang membantu generasi baru untuk memahami ulang arti kemerdekaan. Bukan kemerdekaan sebagai kata dalam undang-undang, melainkan sebagai proses menjadi manusia yang merdeka: dari rasa takut, dari manipulasi sejarah, dari ketakutan untuk dibungkam. Sama seperti Luffy, yang tak pernah mengklaim dirinya pahlawan, tetapi bertindak karena suara hatinya.
Maka, apa yang kita rayakan setiap 17 Agustus bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan komitmen abadi untuk mencari One Piece kita sendiri. Sebuah dunia yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih adil.
Daripada menutup pintu terhadap One Piece, mengapa tidak menjadikannya medium baru untuk mengajarkan semangat Pancasila dan nasionalisme yang lebih segar, lebih kontekstual? Sebagaimana Luffy dan krunya yang tak bisa dibatasi oleh peta dan kompas, generasi muda hari ini pun tak bisa dibatasi oleh batas negara dan simbol lama. Tapi mereka tetap bisa diajak mengingat bahwa kebebasan yang sejati tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial, keberpihakan kepada yang lemah, dan semangat kolektif membangun dunia yang lebih adil.
Menjelang perayaan kemerdekaan yang datang selalu berulang, mungkin sebaiknya kita bertanya: apakah generasi muda benar-benar merdeka untuk bermimpi, atau hanya dibebaskan dalam batas-batas yang ditentukan oleh sistem yang tak ingin digugat? Allahu a’lam.[]