RefleksiMenjaga Kata Adalah Puasa Kita

Menjaga Kata Adalah Puasa Kita

-

- Advertisment -spot_img

Puasa itu menahan. Salah satunya adalah menahan kata untuk tak berubah menjadi cela. Puasa itu mengendalikan pikiran supaya setiap kalimat yang keluar dari mulut tak membuat orang  terhina dan terungkap aibnya. Puasa itu seumpama “tali kekang” yang tak mengijinkan siapapun yang sedang melakukannya terampil mencaci juga memaki.

Kita ingat cerita ini. Suatu hari Nabi Saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki seorang hamba sahaya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi Saw. segera memanggilnya. Lalu disuguhkan kepadanya makanan seraya berkata, “makanlah hidangan ini!” Si wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Lalu Nabi Saw. berkata kepada wanita itu dengan nada heran, “bagaimana mungkin engkau berpuasa sedang engkau mencaci-maki seorang hamba sahaya?

Masihkah disebut puasa, jika kita mencaci? Masihkah ada nilainya puasa yang dilakukan jika disaat bersamaan kita memaki? Masihkan disebut puasa jika mulut kita gampang mengeluarkan kata-kata hinaan?

Melalui kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengeluarkan kata-kata yang berisi cacian dan makian sama artinya kita tidak sedang melaksanakan puasa. Tak ada nilai dalam puasa yang dilakukan jika mulut masih tak terjaga. “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sedang engkau mencaci maki seorang hamba sahaya”? Begitu kata Nabi.

Dalam konteks itu benarlah apa yang ditegaskan sebuah tuturan suci bahwa, “alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata”.

Laku puasa kita mungkin berbeda kelas dengan para nabi dan “salaafusshalih”. Cara kita patuh pada perintah Tuhan ini mungkin berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh para aulia dan orang-orang terbaik masa lalu. Sungguh jauh bedanya, seumpama bumi dan langit.

Menjaga kata sembari kita berpuasa, mungkin ini kelasnya kita. Menjaga lisan supaya ia tak berubah menjadi sesuatu yang menikam yang menorehkan luka bagi sesama mudah-mudahan disebut sebagai puasa yang benar dan berharap diganjar pahala oleh Tuhan.

Menjaga lisan sembari kita berpuasa, inilah bukti kepatuhan kepada tuturan Sang Panutan bahwa “apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. Allahu a’lam.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you