
Puasa itu menahan. Salah satunya adalah menahan kata untuk tak berubah menjadi cela. Puasa itu mengendalikan pikiran supaya setiap kalimat yang keluar dari mulut tak membuat orang terhina dan terungkap aibnya. Puasa itu seumpama “tali kekang” yang tak mengijinkan siapapun yang sedang melakukannya terampil mencaci juga memaki.
Kita ingat cerita ini. Suatu hari Nabi Saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki seorang hamba sahaya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi Saw. segera memanggilnya. Lalu disuguhkan kepadanya makanan seraya berkata, “makanlah hidangan ini!” Si wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Lalu Nabi Saw. berkata kepada wanita itu dengan nada heran, “bagaimana mungkin engkau berpuasa sedang engkau mencaci-maki seorang hamba sahaya?
Masihkah disebut puasa, jika kita mencaci? Masihkah ada nilainya puasa yang dilakukan jika disaat bersamaan kita memaki? Masihkan disebut puasa jika mulut kita gampang mengeluarkan kata-kata hinaan?
Melalui kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengeluarkan kata-kata yang berisi cacian dan makian sama artinya kita tidak sedang melaksanakan puasa. Tak ada nilai dalam puasa yang dilakukan jika mulut masih tak terjaga. “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sedang engkau mencaci maki seorang hamba sahaya”? Begitu kata Nabi.
Dalam konteks itu benarlah apa yang ditegaskan sebuah tuturan suci bahwa, “alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata”.
Laku puasa kita mungkin berbeda kelas dengan para nabi dan “salaafusshalih”. Cara kita patuh pada perintah Tuhan ini mungkin berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh para aulia dan orang-orang terbaik masa lalu. Sungguh jauh bedanya, seumpama bumi dan langit.
Menjaga kata sembari kita berpuasa, mungkin ini kelasnya kita. Menjaga lisan supaya ia tak berubah menjadi sesuatu yang menikam yang menorehkan luka bagi sesama mudah-mudahan disebut sebagai puasa yang benar dan berharap diganjar pahala oleh Tuhan.
Menjaga lisan sembari kita berpuasa, inilah bukti kepatuhan kepada tuturan Sang Panutan bahwa “apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. Allahu a’lam.[]