
يصعد ماء البحر المالح الى السماء بخارا فيكون غماما ثم يعود الى الأرض غيثا عذابا نقياً.
اصعد بقلبك الى السماء وانظر كيف يعود
“Air laut yang asin naik ke langit sebagai uap, lalu menjadi mendung. Kemudian kembali ke bumi sebagai hujan yang tawar lagi bersih.
Naikkan isi hatimu ke langit, lalu lihatlah bagaimana ia turun dan kembali nantinya” [Ibnu Qayyim]
Tidak sekadar menahan haus dan lapar, puasa dalam pemahaman yang lain seperti dikatakan Rumi adalah “membakar” otak dan perut. Puasa seumpama api bahkan mampu menghanguskan “seratus hijab”, begitu kata Rumi selanjutnya.
Berkata yang baik adalah pesan agama. Mulut seharusnya hanya mengeluarkan kalimat yang sopan dan menentramkan. Bahkan menurut sebuah hadits “berkatalah yang baik, jika tidak bisa maka diamlah”. Apa daya, kita gampang lupa atau malah dengan sengaja abai pada pesan agama itu. Lisan kita sering tak sadar berisi umpatan bahkan cacian. Apa yang keluar dari mulut hanyalah pesan yang kadang menyesatkan.
Begitu juga dengan mata yang kita punya. Sejurus dengan nasihat agama, mata harusnya diarahkan pada sasaran yang pantas. Indera penglihatan ini terlarang digunakan untuk memperhatikan yang tak patut. Apa lacur, setiap hari kita bisa asyik dan tergoda melihat tontonan yang tak senonoh. Kita hanya kerasan mengamati hal yang bisa merusak pikiran.
Juga hati yang kita miliki. Hati adalah cermin, begitu para sufi meyakini. Ia adalah simbol dari kejujuran, anjurannya adalah kebaikan. Kecenderungan hati adalah kebenaran, sifatnya adalah kasih sayang. Ia bisa menjadi tenang bila kita berbuat baik dan gelisah bila kita berbuat dosa. Bila ia bersih, ia akan menjadi juru bicara Tuhan di dalam diri kita. Bila ia bening berkilat maka ia akan menangkap wajah Tuhan.
Sayangnya, kita sering mencampakkan hati bahkan mengotorinya dengan perilaku keliru. Berlaku curang demi kemenangan. Dusta hanya untuk kesenangan sesaat. Kikir padahal harta melimpah. Dengki terhadap kebahagian orang lain. Menampik kebenaran karena gengsi dan harga diri. Akibatnya hati berdebu. Tertutup bahkan mati sehingga tidak bisa digunakan untuk memahami mana yang paling sempurna.
Puasa adalah laku spiritual yang “membakar”, begitu kata Rumi. Ia memiliki daya untuk menyingkirkan bahkan menghanguskan kotoran dan kebiasaan buruk seluruh indera yang dimiliki manusia. Puasa jika ia dilakukan atas dasar iman dan seturut dengan tuntunan mampu membakar dan melenyapkan penyakit hati. Ia mampu membersihkan debu dan kotoran yang menempel dan yang telah membuat cermin hati kusam.
Pada peristiwa puasa, ketika kita diseru untuk bisa menahan lapar dan haus. Ketika seluruh indera dipaksa menunda hasrat dan keinginan, inilah momen spiritual yang seumpama “air asin yang naik ke langit menjadi uap” untuk kembali menjadi fitrah, “kembali ke bumi sebagai hujan yang tawar lagi bersih”.
Puasa ramadhan adalah laku kudus yang mengembalikan fungsi hati. Selama sebulan ia “diundang” naik ke langit dan dekat dengan Tuhan sebagai sumber utama kehidupan. Ia ditempa dan dibersihkan di sana supaya ketika kembali ke bumi, ia menjadi cermin bening yang memantulkan kebaikan. Menjadi tameng dan bekal untuk menjalani perjalanan 11 bulan berikutnya.
“Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu”, begitu kata Rumi. Allahu a’lam[]