
Bermula dari kata. Peradaban manusia untuk sebagiannya adalah jumlah keseluruhan dari kata-kata yang disusun menjadi ide, teori dan proposisi. Manusia berkomunikasi dan bersosialisasi, kata lah jembatan penghubungnya. Manusia melambungkan doa mengetuk pintu Tuhan, kata lah media penyampainya. Tapi kata atau bahasa, bukan hanya sekadar alat sebagaimana dipahami filsuf analitik, orang semisal Gadamer bahkan meyakini jika kata adalah “rumahnya Sang Ada”. Pada kata atau bahasa manusia menjadi manusia.
Kata sebagai teori yang dikemukakan atau konsepsi yang disuguhkan pasti ada faedahnya. Melalui teori atau konsepsi realitas dapat dimengerti. Selubung misteri menjadi nampak dan jelas di hadapan manusia. Kabut ketidakmengertian bersalin rupa menjadi ilmu pengetahuan dan pemahaman. Sirnalah chaos, terbitlah logos. Tak lagi ditemui praduga dan syak wasangka.
Tapi hari-hari ini, seperti yang kita amati di media sosial, kata-kata tak seluruhnya mengungkapkan pemahaman bahkan kebijaksanaan. Ia malah berubah menjadi umpatan bahkan tuduhan. Orang mengeluarkan kata bukan untuk saling mengerti dan menghargai tapi malah menjadi muasal kebencian yang disebarkan: ghibah menjalar, fitnah menyebar. Kata seumpama sihir yang merubah manusia dari “homo sapiens” menjadi “homo brutalis”.
Kata-kata yang disemai bukan mendekatkan malah menjauhkan. Bukan menjadi media yang menyatukan justeru memisahkan. Bukan menjadi sebab keintiman dan saling mengerti malah menjadi pemantik yang saling mengasingkan dan menegasikan. Atas nama kitab suci dan kemurnian beragama, kata berubah menjadi telunjuk pengatur Tuhan yang hendak menertibkan sekalipun menyayat hati dan melukai perasaan.
Mengeluarkan kata-kata sejatinya adalah meresapi nasihat bijak yang menyatakan bahwa “ikhfadz lisanaka wakhtarij min lafdzihi falmar’u yaslamu billisanihi wa ya’tub”. Allahu a’lam[]