RefleksiGLOKALISASI

GLOKALISASI

-

- Advertisment -spot_img

57 adalah usia yang bisa disebut tua. Usia yang dipercaya telah banyak merekam perjalanan kehidupan, pahit getirnya perjuangan dan juga saksi dari sejumlah kabar gembira tentang pencapaian yang membahagiakan.

Tapi sebagai institusi pendidikan, 57 adalah angka yang masih belia. Persis,  di usia yang masih muda ini, UIN Bandung bermuka-muka dengan jaman yang mengejutkan. Segalanya berubah cepat, dan sebagiannya penuh dengan ketidakpastian dan ketakterdugaan.

Ya, segalanya cepat berubah: cara kita membaca, cara kita belajar, cara kita mengingat. Sunggguh, dunia kita yang diami hari ini kian menyempit dan mengerucut hanya dalam layar 6 inci di genggaman. Tapi dari dunia yang sempit ini pula lahirlah “disrupsi”. Sebuah kata yang mengguncang, tapi memang demikianlah ia datang.

Namun di balik perubahan yang cepat, gegap gempita globalisasi dan digitalisasi, ada satu kata yang mungkin lebih tenang, tapi seringkali luput dari perhatian: “glokalisasi”. Ia bukan sekadar penjumlahan dari lokal dan global, melainkan sebuah percakapan sunyi antara yang jauh dan yang dekat.

Pemilihan frasa glokalisasi, terasa menjadi niscaya dan penting. UIN Bandung dengan ini tidak hanya harus tunduk dalam arus cepat yang mengglobal tapi juga harus tetap berkhidmat pada nilai dan prinsip-prinsip lokal sebagai muasal, akar dan tempat kembali yang paling bernilai.

Sekalipun masih muda, kita sudah percaya bahwa kampus bukan tempat memberikan ijazah an sich. Menyematkan gelar secara cuma-cuma. UIN Bandung adalah juga altar tempat menajamkan hati dan mengasah nurani.

Namun di tengah badai dan gemuruh perubahan yang membawa disrupsi ada pertanyaan yang mungkin bisa menjadi tantangan bahkan renungan untuk lebih mendewasakan: apa yang bisa dilakukan kampus Islam?

Konon, sosiolog Roland Robertson pernah menulis bahwa glokalisasi adalah perjumpaan antara universalitas dan partikularitas. Dalam perjumpaan, mustahil kita menghindari teknologi. Dalam perjumpaan, kita tak seharusnya takut dengan globalisasi.

Sekalipun usia masih belia, mustahil kita menutup jendela terhadap dunia, menutup pintu rapat-rapat atas seluruh perkembangan yang terjadi,tapi berusaha menyiapkan hati agar tak hanyut dalam arusnya.

Kita akui, dewasa ini pendidikan tak lagi sederhana. Di kelas, mahasiswa kadang sering memandang layar daripada memerhatikan apa yang dosen katakan. Di perpustakaan, buku-buku mulai berdebu karena tak lagi disentuh. Clayton Christensen (seorang dosen Harvard University) pernah berkata bahwa sebuah universitas bisa saja runtuh jika tak mau berubah. Barangkali, ia sedang menyindir mereka yang masih merasa cukup dengan metode lama di zaman yang sudah baru.

Dalam usia yang masih belia kita diuji: apakah nilai-nilai Islam bisa hidup dalam algoritma? Apakah tauhid bisa bertahan dalam teknologi cloud? Dan apakah UIN Bandung mampu membesarkan generasi yang tak hanya cerdas dan pintar, tapi juga waras?

Jawabannya mungkin bisa kita temukan dalam suara yang lebih lembut dari teriakan jargon digital: suara adab.

“Inti pendidikan Islam adalah pembentukan adab, bukan sekadar transfer informasi”, begitu kata Syed Naquib al-Attas. Rasanya, di sinilah glokalisasi menjadi penting: bukan meniru dunia luar, tapi menafsirkan dunia dari dalam jiwa kita sendiri. Dari sumber dan nilai-nilai lokal tempat kita berdiri.

Bisa saja kita bisa menampik modernitas. Tapi dengan menampiknya tak berarti menyelamatkan nilai-nilai lama. Sebaliknya, seperti pesan Kuntowijoyo, kita mesti mampu mengobjektifkan nilai—menjadikan Islam bukan sekadar memori, tapi cara pandang. Maka, Islam Nusantara, misalnya, bukan sekadar nostalgia, tapi tawaran: bahwa Islam bisa ramah, bisa santun, bisa hadir tanpa harus mengusir.

Barangkali, di situlah peran kampus Islam. Peran yang harus dimainkan UIN Bandung. Mungkin, kita tak perlu jadi seperti MIT, Oxford, atau kampus-kampus besar lainnya di dunia. Tapi kita bisa outentik  menjadi diri sendiri tanpa kehilangan kemampuan membaca gerak jaman.

Saya membayangkan suatu hari, di kampus ini, seorang dosen membacakan puisi Jalaluddin Rumi setelah mengajar filsafat barat. Di tempat lain, sekelompok mahasiswa berdiskusi tentang kecerdasan buatan sambil menukil hadis dan ayat Al-Qur’an. Di perpustakaan, buku Imam al-Ghazali dan Yuval Noah Harari berdampingan di rak yang sama. Ini bukan mimpi. Dan, inilah glokalisasi.

Di usia ke-57 ini, UIN Sunan Gunung Djati Bandung bisa saja menemukan masa depannya: bukan dengan melawan zaman, tetapi menghadapinya dengan gagah bahkan menyulamnya dalam spirit glokalisasi. Dengan akal, di atas landasan adab.

Selamat berulang tahun ke-57. Allahu a’lam[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you