RefleksiBerbicara dan Mendengar

Berbicara dan Mendengar

-

- Advertisment -spot_img

Ketika kita berbicara bisa saja kita hanya mengulangi apa yang sudah kita ketahui. Sebaliknya, ketika kita mendengarkan, kita mungkin belajar sesuatu yang baru.” (Dalai Lama)

Ada kalanya kita berbicara bukan untuk mengatakan sesuatu, melainkan untuk menegaskan bahwa kita ada. Bahwa pikiran dan omongan kita patut dicatat. Disebarluaskan. Seolah-olah dunia ini harus tahu bahwa kita pernah berpikir: I think therefor I’m. Maka, kita bicara.

Dan perhatikanlah di televisi, dalam suatu acara diskusi atau talk show, kata-kata begitu berhamburan susul menyusul. Bahkan dengan volume suara yang tinggi, masing-masing pembicara merasa perlu memberondong dan menaklukan lawan bicara dengan kata-kata.

Tapi sebagaimana kata-kata bisa menjebak, suara bisa menjadi gema dari ruang sempit yang hanya memantulkan bayangan kita sendiri. “Ketika kita berbicara,” ujar Dalai Lama, “bisa saja kita hanya mengulangi apa yang sudah kita ketahui.” Ini seperti menata ulang perabot di dalam kamar kita sendiri. Tak ada jendela yang dibuka. Tak ada tempat atau lanskap lain yang dijenguk. Dunia tetap kecil, nyaman, dan tak mengganggu.

Sebaliknya, “ketika kita mendengarkan, kita mungkin belajar sesuatu yang baru.” Mendengarkan, saya kira adalah tindakan membuka. Membuka pintu, jendela, atau kadang-kadang bahkan luka. Mendengarkan adalah memberi kesempatan pada dunia untuk masuk—dengan wajahnya yang tak selalu akrab, dengan suara-suara yang kadang bising, bertentangan, mungkin juga menakutkan.

Ada paradoks di sini. Mendengarkan, yang tampak pasif, justru menuntut keberanian. Keberanian untuk menerima dan mengakui bahwa kita belum tahu. Bahwa kita bisa salah. Bahwa suara lain mungkin bisa lebih jernih, kaya dengan nuansa dan perspektif dari gema suara kita sendiri.

Barangkali di sanalah letak kebijaksanaan yang tak bisa diproduksi oleh lonceng keangkuhan intelektual. Ia tumbuh pelan-pelan, dalam hening. Dalam diam yang tidak mati, tapi hidup karena mendengar.
Seperti seorang tua di pegunungan Tibet, atau seperti seorang penulis yang menyadari bahwa kalimat terbaiknya bukan apa-apa yang ditulis, tapi yang didengar terlebih dulu. Mungkin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you