
Kartini. Setiap tahun kita peringati kelahiran juga perjuangannya. Begitu juga cara berpakaian kebaya yang dikenakannya.
Kartini. Namanya lekat dengan nama jalan, nama yayasan, nama sekolah, atau nama sebuah upacara. Tapi di balik nama itu, tersimpan jiwa yang gelisah. Yang tak sudi menerima nasib begitu saja. Yang bertanya pada dirinya sendiri, mengapa perempuan tidak boleh bermimpi? Mengapa perempuan, seperti dirinya, hanya disiapkan untuk menjadi istri yang patuh dan ibu yang tak boleh bersuara?
Ditakdirkan oleh sejarah, Kartini tumbuh menjadi seorang perempuan muda yang memilih untuk tidak diam. Dari tuturan sejarah kita tahu, Ia tak menggenggam senjata, tak juga memimpin barisan perang, tetapi ia menulis, dan dengan menulis itulah ia melawan.
Dalam gelap, Kartini menemukan terang. Bukan dari jendela kamarnya, tapi dari lembaran surat. Dari gagasan yang datang jauh dari Eropa. Dari wacana yang membicarakan kemajuan, akal budi, dan keadilan. Kartini sadar, tak seluruh yang datang dari luar itu baik. Tapi Kartini pun pun mengerti, tak semua yang diwariskan dari dalam itu suci.
Pandangan Kartini tentang perempuan bukan sekadar soal kebebasan belajar atau pergi ke sekolah. Bukan hanya soal membuka pintu gerbang pendidikan. Lebih dari itu, ia bicara tentang martabat. Tentang bagaimana perempuan harus dihormati bukan karena ia istri siapa atau anak siapa, tapi karena ia manusia.
Bagi Kartini, perempuan tak dilahirkan hanya untuk mengisi peran orang lain. Ia punya hak untuk berpikir, merasa, memilih. Ia punya hak untuk menolak dipingit, bukan hanya tubuhnya tapi juga pikirannya. Ia punya hak untuk mengajukan pertanyaan, meski seluruh dunia hanya menawarkan diam.
Kartini tahu, perjuangannya tak akan tuntas dalam satu generasi. Maka ia menulis untuk masa depan yang melampaui jamannya. Ia menulis untuk mereka yang belum lahir, agar jangan berkompromi apalagi diam pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang mengatasnamakan tradisi. Agar kita tak mengaguminya sebagai simbol semata, tapi memahami keresahan dan kegelisahannya sebagai warisan yang menunggu untuk terus dihidupkan.
Kartini telah lama pergi. Tapi pertanyaannya masih tinggal bersama kita: sampai kapan perempuan harus meminta izin untuk menjadi dirinya sendiri? Allahu a’lam[]
Tabik.