
30 April 2025. Kita memperingatinya sebagai Hari Keterbukaan Informasi Publik. Di tengah capaian-capaian istimewa dan niat menjadikan UIN SGD Bandung sebagai Perguruan Tinggi yang memiliki visi rahmatan lil’alamin, maka “perayaan” keterbukaan informasi publik tersebut serasa menemukan urgensinya.
Kampus selalu dibayangkan sebagai ruang terang, tempat gagasan bersua, nilai diuji, dan masa depan dipertaruhkan. Tetapi terang tidak selalu tumbuh dari kemegahan infrastruktur, panjangnya prestasi, ataupun berlimpahnya Guru Besar. Terang tumbuh dari kejujuran. Dari keberanian untuk membuka, menjelaskan, dan memperbolehkan siapa pun bertanya: Mengapa ini diputuskan? Apa dasar suatu kebijakan dibuat?
Keterbukaan informasi bukan sekadar kewajiban hukum ataupun tuntutan administratif, melainkan panggilan nurani. Ia mengajak setiap kita menyingkap tabir yang selama ini dianggap lumrah. Bahwa administrasi kampus boleh berjalan diam-diam, senyap dan nihil partisipasi.
Seorang mahasiswa barangkali tak butuh tahu seluruh isi rapat senat. Tapi ia berhak tahu bahwa kebijakan yang menyentuh kebutuhkan akademiknya lahir dari proses yang jujur dan transparan. Dosen barangkali tak ingin terlibat dalam seluruh struktur keuangan ataupun ribetnya perkara administrasi, tetapi ia ingin diyakinkan bahwa penghargaan dan penilaian berjalan dengan adil.
Keterbukaan bukan sekadar data yang dipajang dipampang di laman resmi. Ia adalah budaya. Cara kita memandang satu sama lain dengan rasa hormat. Ia adalah pengakuan bahwa setiap individu di kampus, dari rektor hingga petugas kebersihan, memiliki hak untuk tahu. Karena tahu adalah bentuk paling dasar dari dihargai.
Secara tak sengaja, saya menemukan pernyataan Ki Hajar Dewantara, menurutnya, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Lalu saya bertanya, mungkinkah setiap kantor birokrasi di kampus juga menjadi ruang belajar, jika informasi dibuka, jika keputusan dijelaskan, jika semua diperlakukan sebagai bagian dari satu komunitas yang hidup?
Saya kira, keterbukaan informasi adalah etika, bukan hanya kewajiban. Ia mengembalikan perguruan tinggi ke jantung demokrasi: tempat warga belajar tidak hanya teori, tetapi cara hidup yang adil dan terbuka.
Mungkin kampus tidak akan pernah sempurna. Tapi keterbukaan memberi arah dan menjamin kesempatan kepada setiap orang untuk tahu. Ia seperti kompas, tak menjanjikan jalan yang mudah, tapi menunjukkan kita ke mana seharusnya melangkah.
Jendela keterbukaan informasi memang harus selalu dibuka. Bukan sekadar untuk melihat ke luar, tapi untuk membiarkan cahaya masuk. Karena di dalam terang itulah demokrasi bertumbuh. Dan di dalam kampus itulah, ia belajar hidup. Dan dalam frasa sakral “rahmatan lil alamin” ia mendapatkan bentuknya yang paling nyata. Allahu a’lam.
Tabik.[]