
Di tribun, saya menyatu dengan ribuan bobotoh. Tenggelam dalam lautan suara, ikut merayakan puncak pencapaian Pangeran Biru. Di balik sorak kegembiraan dan gegap gempita stadion, saya merasakan ada satu benang merah yang mengikat begitu kuat dan nyaris tak kasat mata: cinta.
Ini bukan cinta yang biasa-biasa saja, saya kira. Bukan sekadar kagum atau bangga karena Persib juara back to back, tetapi cinta yang telah melebur menjadi identitas, bahkan keyakinan eksistensial. Itulah cinta Bobotoh kepada Persib Bandung, sebuah kesetiaan yang lebih mirip ritual suci daripada hiburan akhir pekan.
Saya meyakini, Bobotoh bukan sekadar suporter. Mereka adalah penafsir hidup lewat sepak bola. Dalam tiap nyanyian dan yel, dalam tiap langkah menuju stadion, ada makna yang lebih dalam dari sekadar mendukung tim: ada hasrat untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Persib bukan cuma klub; ia adalah rumah, pelabuhan, bahkan terkadang menjadi pelarian dari getirnya kehidupan.
“Manusia adalah makhluk yang terkutuk untuk bebas,” begitu kata Jean-Paul Sartre. Dalam kebebasan itu, kita mencari makna, dan tak sedikit yang menemukannya dalam kebersamaan di tribun dan dalam warna biru yang menyatukan. Persib menjadi cermin tempat Bobotoh memantulkan jati diri mereka. Sebagai orang Sunda, sebagai bagian dari tanah Pasundan, sebagai manusia yang merayakan keberanian dan kebersamaan.
Namun, di balik semangat itu, ada pertanyaan sunyi yang sesekali menyelinap masuk ke dalam batin. Sampai di mana cinta ini harus dibawa?
Apakah ini cinta yang sehat, ataukah sudah bermetamorfosa menjadi keterikatan yang membutakan? Di tribun, di jalan, di media sosial, kadang kita menyaksikan cinta yang berubah rupa menjadi kebencian. Pada wasit, pada suporter lawan, bahkan sesama Bobotoh yang berbeda pandangan. Di sinilah batas antara cinta dan fanatisme menjadi kabur.
Friedrich Nietzsche pernah memperingatkan, “Berhati-hatilah dalam mengejar monster, sebab bisa jadi kau sendiri berubah menjadi monster.” Dalam konteks suporter, cinta yang murni bisa berubah menjadi kekerasan yang membara jika tak diimbangi oleh kesadaran.
Fanatisme, dalam kadar tertentu, memang bisa menjadi lem sosial yang memperkuat solidaritas. Ia membentuk komunitas, menjadi alasan bagi orang-orang yang tak saling kenal untuk saling menyapa, saling peluk saat gol tercipta. Di sanalah, kita menemukan makna communitas, sebuah kebersamaan yang dibentuk bukan oleh kesamaan rasional, melainkan oleh pengalaman emosional kolektif.
Namun, solidaritas ini juga bisa berubah menjadi jerat ketika cinta tak mampu menerima perbedaan atau kekalahan. Ketika kekalahan dianggap sebagai penghinaan personal, atau ketika rivalitas ditafsirkan sebagai perang identitas, maka kita tak lagi berbicara tentang cinta, tetapi tentang keterikatan yang memenjarakan.“Jika cinta tidak membebaskanmu, maka itu bukanlah cinta, melainkan belenggu,” demikian katanya Kahlil Gibran.
Pertanyaannya, apakah cinta Bobotoh kepada Persib membebaskan mereka untuk tumbuh sebagai individu dan komunitas? Atau justru menjerat dalam batas identitas yang kaku dan eksklusif?
Refleksi ringan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengundang kesadaran baru. Bahwa mencintai klub tak harus berarti membenci lawannya. Bahwa merayakan kemenangan tak harus dengan ejekan. Bahwa menerima kekalahan tak berarti menjadi lemah. Justru di situlah cinta yang tercerahkan menemukan bentuknya: ketenangan, pengertian, dan kedewasaan.
Konon, Immanuel Kant pernah menyatakan bahwa, “Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri.” Fanatisme yang tercerahkan menuntut kita untuk terus bertanya, merefleksikan, dan memilih bentuk cinta yang tidak hanya menyatukan, tetapi juga membimbing.
Sepak bola, pada akhirnya, adalah cermin dari masyarakat. Cara kita mencintai klub mencerminkan cara kita mencintai hidup. Maka biarlah cinta Bobotoh kepada Persib menjadi kisah tentang kesetiaan yang indah, bukan karena tidak pernah goyah, tetapi karena selalu bersedia untuk tumbuh, merenung, dan memperbaiki diri.
“Cinta sejati adalah memperhatikan yang lain, membiarkan dia ada sebagaimana dia adanya,” begitu kata tuturan bijak yang saya temukan. Mari kita biarkan cinta kepada Persib menjadi ruang refleksi dan perayaan, bukan hanya untuk klub yang kita dukung, tapi juga untuk manusia yang kita temui di tribun, jalanan, dan di hidup sehari-hari. Allahu a’lam.
Tabik.[]