Quotes"Cukup"

“Cukup”

-

- Advertisment -spot_img

Kalimat yang konon diasalkan kepada Mahatma Gandhi ini adalah seruan yang menggugah nurani sekaligus peringatan keras tentang krisis kemanusiaan yang mengakar dalam sifat dasar manusia yang paling purba: keserakahan.

Dalam renungan yang lebih dalam, pernyataan Gandhi ini bukan sekadar himbauan ataupun kritik terhadap perilaku konsumtif, melainkan cermin tajam yang memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan antara manusia dan alam ketika moralitas kehilangan arah.

Bayangkan bumi sebagai rumah bersama, tempat setiap makhluk hidup diberi ruang, udara, air, dan tanah secukupnya untuk hidup dan tumbuh. Dalam tatanan kosmik yang harmonis, bumi menyediakan segalanya dengan penuh kemurahan: pohon tumbuh tanpa pamrih, sungai mengalir tanpa meminta imbalan, dan tanah memberi makan tanpa memilih siapa.

Namun, begitu rasa tamak dan kerakusan merasuki manusia, dalam bentuk eksploitasi, monopoli sumber daya, dan gaya hidup berlebihan, semua keseimbangan itu runtuh. Maka, bukan karena bumi tak lagi cukup, melainkan karena segelintir manusia memutuskan bahwa “cukup” tidak pernah memberikan kepuasan.

Namun sebenarnya, pernyataan yang disampaikan Gandhi ini juga adalah kontemplasi tentang waktu. Pernyataan itu seumpama membentangkan cakrawala tanggung jawab lintas generasi. Bahwa bumi yang menjadi rumah bersama ini diwariskan, bukan diwariskan untuk dikuasai atau disalahgunakan melainkan untuk dijaga keberlangsungannya. Ketika satu generasi hidup dengan tamak dan penuh keserakahan, generasi berikutnya akan menanggung akibatnya: kekeringan, rusaknya lingkungan, polusi, krisis iklim, dan kemiskinan ekologis.

Dalam terang spiritualitas Gandhi, keserakahan bukan hanya soal ekonomi atau ekologi, tapi soal moral dan jiwa: bagaimana manusia menempatkan dirinya di alam semesta. Apakah ia sebagai penguasa, atau sebagai penjaga?

Sungguh! Ulasan ini bukan hanya seruan untuk kembali pada hidup yang bersahaja, tetapi juga undangan untuk menata ulang dan memberi pemaknaan baru pada kata “cukup”. Dalam dunia yang terus menuntut lebih, berani berkata “cukup” mungkin sejenis keberanian yang aneh, mungkin juga sejenis revolusi. Sebuah revolusi batin yang menolak hasutan dan bujuk rayu keserakahan, tamak dan memilih keberlimpahan dalam kesederhanaan.

Sejatinya, bumi ini memang cukup. Yang tidak cukup adalah hati yang tak pernah merasa cukup. Allahu a’lam.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you