HikmahMenjaga Lisan

Menjaga Lisan

-

- Advertisment -spot_img

Lisan adalah anugerah sekaligus ujian. Ia berukuran kecil, namun kuasa dan dampaknya sangat luas. Ia tidak bertulang, namun mampu menghancurkan dinding-dinding hubungan yang dibangun bertahun-tahun. Ia tak berbentuk tajam, namun bisa menoreh luka yang mungkin tak mudah sembuh seumur hidup. Maka tidak heran, para bijak bestari dari zaman ke zaman selalu mengingatkan tentang satu hal yang tampaknya sepele: “menjaga lidah”.

Saya jadi ingat sebuah mahfudhot (tuturan bijak), yang saya dapatkan ketika mesantren kilat dulu: “Ikhfadz lisanaka wakhtariz min lafdzihi, falmar’u yaslamu billisānihi wa ya‘tub” (Jagalah lisanmu dan waspadalah terhadap ucapannya, sebab seseorang bisa selamat dengan lisannya dan juga bisa mendapat cela karenanya).

Saya tidak tahu, siapa yang menuturkan kalimat bijak ini tapi pada mahfdhot ini saya merasakan peringatan spiritual yang dalam. Ia mengajarkan bahwa keselamatan jiwa sering kali ditentukan oleh apa yang keluar dari mulut, bukan semata-mata apa yang kita lakukan dengan tangan ataupun kaki.

Konon, dalam tradisi sufi, lisan tidak berdiri sendiri.  Ia adalah jendela hati, gema dari batin. Bila hati dipenuhi cinta, kelembutan, dan keikhlasan, maka kata-katanya pun menyembuhkan. Sebaliknya, jika hati penuh amarah, iri, atau dendam, maka kata-katanya pun akan mencederai. “Apa yang keluar dari lisan adalah buah dari apa yang tumbuh dalam hati,” begitu kata Syaikh Ibn ‘Ataillah al-Iskandari.

Di tempat lain, Jalaluddin Rumi juga menuliskannya dengan indah: “Jangan anggap enteng kata-katamu, sebab satu kata bisa menyalakan cinta, atau membakar dunia.” Dengan pernyataannya ini, Rumi seakan mengatakan bahwa ucapan adalah kekuatan. Maka hendaknya lisan menjadi alat untuk menghidupkan, bukan mematikan; untuk menghubungkan, bukan memutuskan.

Konon, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya bahkan menyebut lidah sebagai anggota tubuh yang paling berbahaya. Ia bisa menjerumuskan ke dalam ghibah, fitnah, dusta, atau kesombongan tersembunyi. Karena itu Al-Ghazali menyebut diam sebagai salah satu bentuk ibadah tertinggi, jika dilakukan dalam rangka menahan diri dari perkataan sia-sia. “Betapa banyak orang yang ibadahnya sia-sia hanya karena satu kata yang keluar tanpa ia sadari,” begitu katanya.

Di era era sekarang, menjaga lisan tidak cukup hanya dengan menahan ucapan. Lisan kini memiliki perpanjangan di ujung jari: media sosial, ruang komentar, pesan singkat. Kata-kata yang dulu hanya menyakiti dalam percakapan kini bisa melukai ribuan orang hanya dalam satu klik. Maka menjaga lisan berarti menjaga tulisan. Menjaga tutur berarti menjaga unggahan.

Suatu waktu, syaikh Abdul Qadir al-Jailani menasihati murid-muridnya: “Jika engkau ingin selamat dari kehinaan, maka tahanlah lidahmu dari tiga hal: dusta, celaan, dan kata-kata yang sia-sia.” Kita hidup di dunia yang riuh oleh suara, namun sering kali yang kita butuhkan adalah keheningan. Diam, jika dipilih dengan kesadaran, adalah suara paling jernih yang lahir dari kejernihan batin.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah mengucap satu kalimat, ringan, spontan, tanpa niat jahat, namun berakhir menjadi sebab luka yang dalam bagi orang lain. Mungkin pula kita pernah mendengar satu kata, yang tak pernah kita lupakan sepanjang hidup, karena ia menyentuh dasar jiwa kita. Inilah kekuatan lisan: ia bisa menjadi cahaya atau bara.

Menjaga lisan, menurut hemat saya, bukan hanya karena kita takut menyakiti orang lain, tetapi karena kita sedang menjaga kebersihan jiwa sendiri. Kata-kata mencerminkan siapa kita sesungguhnya. Dan pada akhirnya, setiap kata akan ditimbang, setiap ucapan akan dipertanggungjawabkan.

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam,” begitu pesan Nabi Muhammad SAW. Saya kira, inilah jalan keselamatan: berbicara dengan niat baik, atau memilih hening sebagai bentuk kebijaksanaan. Allahu a’lam.

Tabik.[]

Previous article
Next article

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you