
Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII tapi HMI”. Bagi saya, pernyataan ini bukan sekadar seloroh politis. Ia mengandung bias, sindiran, dan pada saat yang sama mencerminkan gejala klasik politik identitas yang terus mengendap merayap dalam lanskap politik Indonesia.
Pernyataan tersebut, terlepas dari konteks kelakar, bermuatan dikotomis: ada yang “tumbuh dari bawah” dan ada yang seolah-olah “dibentuk dari atas”; ada yang organik, ada yang elitis. Dalam dialektika sosial-politik, dikotomi semacam ini kerap dijadikan bahan bakar politik identitas, strategi yang tidak hanya memisahkan “kami” dari “mereka”, tetapi juga menetapkan hirarki nilai dan legitimasi perjuangan.
Narasi Negasi
Ketika Cak Imin mengklaim bahwa “yang tumbuh dari bawah” adalah PMII, dan secara implisit menyebut HMI sebagai sebaliknya, ia sedang menggiring persepsi bahwa legitimasi perjuangan berasal dari akar rumput, dari rakyat kecil, dari bawah. Ini adalah narasi khas politik identitas, menggarisbawahi keberpihakan kepada kelompok tertentu sambil menegasikan kelompok lain.
Namun, apakah benar HMI tidak lahir dari bawah? Apakah PMII satu-satunya representasi gerakan akar rumput? Dalam sejarahnya, HMI didirikan pada masa revolusi fisik tahun 1947 oleh Lafran Pane di Yogyakarta, dengan semangat mempertahankan kemerdekaan dan mengakar pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. PMII sendiri lahir pada tahun 1960 sebagai bentuk keresahan kaum muda Nahdliyin terhadap elitisme dan orientasi politik dalam HMI, yang kala itu mulai dianggap terlalu condong pada kalangan modernis dan nasionalis kanan.
Saya meyakini, kedua organisasi ini lahir dari semangat yang sama: keberpihakan pada Islam dan Indonesia. Maka, dikotomi “tumbuh dari bawah atau tidak” menjadi sangat retoris, sekaligus menyederhanakan bahkan menyepelekan kerumitan sejarah perjuangan mahasiswa Islam yang plural.
Wadah Kader
PMII memiliki afiliasi ideologis dan kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan HMI lebih sering diasosiasikan dengan kelompok Islam modernis, meskipun secara struktural ia independen. Keduanya, dalam lanskap politik Indonesia, telah menjadi wadah kader-kader politik, birokrasi, dan intelektual.
Ketika afiliasi kultural digeser ke dalam ranah politik praktis, yang muncul bukan lagi semangat kebersamaan, melainkan dorongan untuk mempertegas batas antara “kita” dan “mereka”. Politik identitas dalam konteks ini tidak digunakan untuk membangun pemahaman kolektif tentang siapa kita, tetapi justru untuk menegaskan siapa yang berada di luar kelompok kita. Dalam kerangka tersebut, pernyataan Cak Imin mencerminkan pola pikir eksklusif yang berpotensi merusak harmoni kebangsaan yang tengah kita upayakan bersama.
Dari Kompetisi ke Kolaborasi?
Hubungan antara PMII dan HMI adalah kisah panjang antara persaingan ideologis dan keterpanggilan nasionalisme. Dalam beberapa fase sejarah Indonesia, dua organisasi ini saling berhadapan dalam medan wacana dan aksi politik. Namun di saat yang sama, mereka juga berdiri bersama dalam isu-isu strategis bangsa: demokrasi, HAM, antikorupsi, dan keadilan sosial.
Maka bagi saya, HMI juga PMII adalah dua sayap dari burung yang sama bangsa ini. Jika satu sayap terlampau menekan yang lain, bangsa ini akan limbung.
Oleh karena itu, alih-alih mempertajam batas antara “yang dari bawah” dan “yang bukan”, justru perlu ada kesadaran baru bahwa identitas bukan alat pembatas, tetapi jembatan perjumpaan. “All real living is meeting,” begitu kata filsuf Martin Buber. Dalam kondisi bangsa yang tengah diuji oleh polarisasi sosial dan politik, sikap inklusif dan dialogis antar organisasi mahasiswa Islam menjadi keniscayaan.
Penutup
Pernyataan yang dilontarkan Cak Imin harusnya kita jadikan cermin, bukan kompas! Sungguh, pernyataan itu menunjukkan kecenderungan para politisi untuk mereduksi organisasi ideologis menjadi instrumen kekuasaan. Padahal, sejarah PMII dan HMI adalah sejarah perjuangan dan idealisme, bukan sekadar loyalitas politik dan partisan.
Jika kita masih memercayai bahwa masa depan Indonesia terletak di tangan generasi muda, maka kita juga harus percaya bahwa setiap organisasi, entah PMII, HMI, IMM, KAMMI, GMKI, atau lainnya, memiliki ruang sah dalam dialektika kebangsaan. Yang perlu dihindari adalah menjebak mereka dalam kubu, dalam stigma, dalam dikotomi palsu yang justru membunuh ruh keislaman dan keindonesiaan yang terbuka.
Sebagaimana pohon yang sehat, akar gerakan mahasiswa tak mesti selalu terlihat, tapi ia terus bekerja, menguatkan batang, daun, dan buah bangsa ini. Maka, yang paling penting bukan dari mana ia tumbuh, tapi ke mana ia mengakar, dan untuk siapa ia berbuah. Allahu a’lam[]
Radea Juli A. Hambali (Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Kabupaten Bandung)