RefleksiKelana Filsafat di Belantara Sains

Kelana Filsafat di Belantara Sains

-

- Advertisment -spot_img

Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara.” (Anonimous)

Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari kegelisahan. Ia tidak tumbuh di taman jawaban, tapi bersemi di belantara pertanyaan. Maka filsafat bukan menutup perkara seumpama palu hakim di ruang sidang. Ia justru membuka tabir yang menutupi kenyataan, membuka lapisan-lapisan tipis dari kebenaran yang semula dikira sudah final dan berlaku universal.

Socrates, yang katanya disebut sebagai bapak filsafat, tak meninggalkan satu pun kitab sistematis. Tapi di mata para pembelajar filsafat, Socrates meninggalkan jejak berharga: pertanyaan yang tak pernah letih diajukan, bahkan kepada perkara yang paling biasa sekalipun. “The unexamined life is not worth living,” katanya. “Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani”. Di sana, filsafat menjelma bukan sebagai bangunan yang selesai, melainkan jalan yang terus dibuka. Bukan ilmu tentang jawaban, tapi kepekaan terhadap ketakterjawaban.

Dalam tradisi Islam, salah seorang filsuf Islam Al-Farabi menegaskan bahwa filsafat adalah hikmah, kebijaksanaan yang diperoleh dari “melihat sesuatu dengan kedalaman”. Dan kedalaman, seperti sumur, tidak pernah bisa diukur dari permukaan. Maka orang-orang yang mencintai filsafat tidak mudah tergesa menyimpulkan. Mereka lebih senang diam di tengah pertanyaan, membiarkannya hidup, tumbuh, dan menyibak cakrawala baru dalam pikiran.

Pertanyaan filosofis, apakah itu tentang makna hidup, tentang Tuhan, tentang keadilan, tentang kebenaran, bukan untuk dijawab dan ditinggalkan. Tapi untuk dihidupi. Sebab pertanyaan semacam itu adalah cermin: kita tidak sekadar mencari jawaban, kita sedang melihat siapa diri kita sebenarnya.

Martin Heidegger pernah berkata, “Hal yang paling menggelisahkan di zaman yang penuh pemikiran ini adalah kenyataan bahwa kita sebenarnya masih belum benar-benar berpikir“. Kita hidup di zaman di mana jawaban mudah tersedia, mesin pencari ada di ujung jari. Tapi berpikir, bertanya secara jujur dan mendalam adalah keberanian yang langka. Filsafat mengajarkan keberanian itu: untuk tidak segera puas, untuk tetap memelihara gelisah, untuk terus setia membuka.

Maka, jika filsafat hari ini dipersoalkan eksistensi dan relevansinya, barangkali bukan karena ia usang. Tapi karena kita terlalu tergesa menutup perkara. Kita ingin jawaban, bukan perjalanan. Padahal filsafat tidak pernah menjanjikan pelabuhan, hanya arah angin. Dan siapa tahu, justru di dalam pertanyaan yang tak selesai itu, kita menemukan secercah kebijaksanaan, bukan yang membuat kita merasa tahu, tetapi yang membuat kita lebih sanggup mendengarkan. Lebih rendah hati terhadap misteri. Lebih manusiawi dalam mencari.

Lalu apa gunanya filsafat di zaman sains seperti hari ini, ketika segala sesuatu bisa diukur, dikalkulasi, dan dapat dijelaskan secara presisi? Tidakkah filsafat usang bahkan ketinggalan zaman?

Pertanyaan tentang relevansi filsafat di zaman sains adalah pertanyaan yang sangat filosofis itu sendiri. Di tengah gemuruh penemuan ilmiah, kemajuan teknologi, dan data yang berlimpah, kita bisa saja tergoda untuk mengira bahwa filsafat telah menjadi peninggalan masa lalu. Sebuah artefak intelektual yang tak lagi berguna di laboratorium atau dalam kecerdasan buatan.

Justru di zaman ketika segala hal dapat dihitung, diprediksi, dan dijelaskan, rasanya kita semakin membutuhkan sesuatu yang tidak bisa diukur: makna. Sains menjawab “bagaimana“, tapi filsafat memiliki kabajikan untuk bertanya “mengapa“. Sains bisa menunjukkan bagaimana alam semesta mengembang, bagaimana otak memproses kesadaran, atau bagaimana algoritma meniru intuisi manusia. Tapi mengapa kita harus peduli pada kebenaran? Apa itu kebahagiaan? Apa arti menjadi manusia? Ini wilayah filsafat, wilayah yang tak bisa dijangkau oleh mikroskop ataupun teleskop.

Bertrand Russell, seorang filsuf dan juga disebut sebagai matematikawan besar abad ke-20, suatu waktu pernah berkata: “Science is what you know. Philosophy is what you don’t know.” Ilmu bergerak dalam ranah yang bisa dibuktikan, diuji, diulang. Tapi filsafat mengajak kita tetap tinggal di tepian ketidaktahuan, dan justru di sana, kita dapat belajar rendah hati, berpikir lebih dalam, dan bertanya lebih jujur.

Di tengah derasnya sains, filsafat hadir bukan untuk bersaing, tapi untuk menjaga arah. Tanpa filsafat, sains bisa kehilangan etika. Tanpa pertanyaan filosofis, teknologi bisa menjadi dewa baru tanpa hati nurani. Maka pertanyaan seperti “Apakah semua yang bisa dilakukan harus dilakukan?” atau “Apa yang membedakan kecerdasan buatan dari kebijaksanaan manusia?” menjadi sangat penting, dan itu bukan soal sains, ini soal filsafat!

Di zaman kita hari kini, filsafat memang tidak bisa mendaku diri sebagai “cermin besar” kehidupan yang dengan sombong menolak sains. Filsafat harus menjadi mitra sejati. Menjadi penuntun agar ilmu tidak kehilangan arah, agar kemajuan tidak menjadi bumerang, dan agar kita tetap menjadi manusia di tengah revolusi mesin. Filsafat tak menawarkan kepastian, tapi kepekaan; tak membawa jawaban instan, tapi ketajaman berpikir. Dan itu barangkali yang paling kita butuhkan.

Jadi, masihkah ada gunanya filsafat? Sepemahaman saya, filsafat tak hanya berguna, kehadirannya justru lebih mendesak dari sebelumnya. Sebab di zaman ketika semuanya bisa dijelaskan, kita makin haus pada apa yang belum bisa dimengerti. Dan di sanalah filsafat tinggal: di ruang sunyi antara jawaban dan kejujuran.

Di dunia yang semakin berlari cepat (Anthony Giddens), filsafat (mungkin)  meminta kita untuk melambat. Di tengah segala yang instan, ia mengajarkan kesabaran untuk bertanya, dan keberanian untuk tak buru-buru menjawab. Di ujung semua itu, barangkali filsafat bukan tentang pengetahuan, melainkan tentang ketulusan. Bukan tentang menemukan kepastian, melainkan tentang menemani kebingungan. Bukan tentang menutup perkara, melainkan tentang membuka pintu ke dalam diri sendiri, dan ke arah yang lebih manusiawi. Allahu a’lam.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

Prolog Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Pusat Makna

“Logika yang sehat tidak menggantungkan nilai pada jumlah tangan yang menepuk, tapi pada ketenangan batin yang tidak diguncang oleh...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you