PhilosophiaPostmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan...

Postmodernisme dalam Lanskap Agama: Renungan Filsafat, Teologi dan Kehidupan Kaum Beriman

-

- Advertisment -spot_img

Prolog

Ada masa ketika manusia percaya bahwa kebenaran seumpama “menara tunggal”. Ia menjulang tinggi, berdiri kokoh, tak tergoyahkan, semacam menara pemandu arah bagi kapal di tepi pantai. Modernisme, dengan keyakinan pada akal budi, sains, dan narasi kemajuan, membangun jalan lurus menuju puncak menara itu. Semua langkah diarahkan pada satu tujuan, satu kebenaran, satu cahaya. Tetapi sejarah kehidupan menunjukkan, cahaya itu tidak selalu tunggal; kadang ia pecah menjadi pelangi, dan setiap warna menyimpan misteri dan rahasianya sendiri.

Di sinilah postmodernisme muncul. Ia bukan sekadar sebagai penyangkalan terhadap modernisme, tetapi sebagai undangan untuk menyadari keterbatasan kita. Ia tidak selalu datang untuk meruntuhkan dan menggugurkan keyakinan, tetapi untuk membisikkan pesan bahkan ajakan bahwa mungkin, kebenaran bukanlah seumpama Arca yang diam tersembunyi di suatu tempat yang menunggu untuk ditemukan. Bukan juga sebagai sesuatu yang selesai, melainkan lautan luas yang hanya bisa kita jamah dari tepi pantai yang berbeda-beda.

Filsafat: Dari Metanarasi ke Kisah-Kisah Kecil

Adalah Jean-François Lyotard dalam karya terkenalnya The Postmodern Condition (1979), konon menyebut adanya kelelahan manusia pada “metanarasi”, kisah-kisah besar yang mendaku diri mampu menjelaskan segalanya dan menjadi satu-satunya cermin besar kehidupan. Modernisme percaya pada satu jalan, satu kerangka berpikir yang berlaku untuk semua. Postmodernisme sebaliknya mengajak kita mendengar dan menoleh pada kisah-kisah kecil: narasi lokal, pengalaman personal, tafsir-tafsir yang lahir dari konteks dan situasi tertentu.

Dalam ranah teologi, kesadaran ini menggeser cara pandang bahwa tidak ada satu pun tradisi yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya telunjuk pengatur Tuhan. John Hick, salah seorang tokoh penting dalam filsafat agama postmodern dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1989), mengembangkan teologi pluralis. Sebuah pendekatan teologi yang memandang semua agama sebagai jalan yang sah menuju Tuhan atau Realitas Ultim

Dalam sebuah perenungannya, Hick mengibaratkan Tuhan sebagai Realitas Ultim (Ultimate Reality) yang cahayanya jatuh melalui banyak prisma agama. Setiap prisma memecah cahaya menjadi warna yang berbeda, merah, biru, hijau, tetapi sumbernya tetap satu. Maka mengikuti cara berpikir Hick, saya kira, perbedaan bukanlah ancaman, melainkan bahasa lain dari kebenaran yang sama, hanya melalui jalan yang berbeda.

Dekonstruksi: Membaca Ulang dengan Kesadaran Baru


Jacques Derrida, melalui gagasan dekonstruksi, menantang pandangan modernisme yang mendaku teks memiliki makna final. Makna, menurutnya, selalu bergerak, cair dan membuka ruang bagi interpretasi dan pandangan yang tak pernah selesai. Ini menjadi sangat relevan dalam membaca teks-teks suci.

Kitab-kitab seperti Al-Qur’an, Injil, atau Taurat bukanlah monumen yang beku, tetapi taman yang hidup, penuh jalur setapak dan jalan-jalan kecil yang bisa dilalui dengan cara berbeda. Dalam dunia Islam, suara seperti Amina Wadud (Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (1999) menghidupkan semangat ini.

Dengan membaca Al-Qur’an dari perspektif perempuan, Amina mengungkap pesan-pesan keadilan dan kesetaraan yang selama ini mungkin terhalang oleh tafsir patriarkal. Membaca ulang teks suci berarti membuka pintu pada makna yang terpendam, yang mungkin hanya muncul ketika pembaca datang dengan mata dan hati yang baru.

Pluralisme: Perjumpaan yang Menghidupkan

Salah satu hasil yang paling terasa dari postmodernisme dalam agama adalah pluralisme. Di sini, klaim eksklusif bergeser menjadi pengakuan akan banyaknya jalan menuju Tuhan (banyak jalan menuju Roma, hehe). Hans Küng (Islam: Past, Present, and Future (2007) menegaskan bahwa dalam  dunia yang semakin tanpa sekat dan saling terhubung, dialog antaragama bukanlah pilihan tambahan, ia adalah keharusan moral.

Dialog ini bukan sekadar pertemuan formal atau sopan santun diplomasi. Ia adalah perjumpaan batin, di mana dua orang yang berbeda iman duduk berhadapan dan menyadari bahwa di balik segala perbedaan, mereka sama-sama dahaga akan makna, sama-sama mencari cahaya pemahaman.

Postmodernisme dalam keyakinan saya, memberi kita semacam keberanian untuk mengakui bahwa kebenaran bisa berbicara dalam bahasa yang kita tidak kenal, dan bahwa iman kita mungkin justru diperkaya ketika kita mendengar bahasa itu. Bukankah iman itu “yajidu wa yanqus”? Ya, iman itu “bertambah” dan “berkurang” (menebal dan menipis) mungkin karena adanya perubahan pemahaman hasil dari pertukaran ide dengan mereka yang berbeda keyakinan.

Namun, setiap kebebasan membawa risiko. Relativisme yang lahir dari postmodernisme mengundang pertanyaan mendasar dan layak untuk diajukan, jika semua kebenaran relatif, adakah fondasi moral yang masih bisa kita sepakati bersama? Konon Alasdair MacIntyre khawatir (After Virtue (1981), menegaskan sebuah keyakinan bahwa tanpa akar yang kuat, masyarakat akan hanyut dalam pusaran nihilisme nilai.

Di tepi lain, Jürgen Habermas menambahkan, pluralitas saja tidak cukup. Kita memerlukan landasan Bersama, bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk mencari titik temu dalam percakapan. Dialog harus tetap memiliki arah, bukan hanya merayakan keberagaman tanpa tujuan.

Epilog: Iman yang Menyadari Keragamannya

Postmodernisme dalam agama bukanlah gerbang yang harus kita masuki dengan mata tertutup, tetapi juga bukan tembok yang kita jauhi sepenuhnya. Ia adalah undangan kepada kita untuk berjalan di jalur yang lebih cair, lentur, riang gembira dan menghargai banyak suara bahkan yang  paling berbeda sekalipun, namun tetap mencari harmoni.

Dalam dunia yang semakin padat oleh perjumpaan dan pertemuan, postmodernisme mengajarkan bahwa iman tidak lagi berdiri di menara gadingnya sendiri sebagai sesuatu yang telah final dan mengikat. Ia harus mau turun ke jalan, bersinggungan dengan iman yang lain, sanggup dan siap mendengar cerita-cerita yang berbeda, dan menyadari bahwa Tuhan sering kali berbicara dalam lebih dari satu bahasa.

Barangkali, inilah hikmah terdalam yang disodorkan postmodernisme bagi jiwa yang beriman: ia tidak hanya mengajarkan kita merangkul perbedaan, tetapi menuntun kita berjalan di lorong-lorongnya hingga kita menemukan kembali wajah kita sendiri. Sebab, di batas segala pencarian, kita akan mengerti bahwa kebenaran yang kita genggam hanyalah sebuah celah kecil, tempat kita mengintip ke dalam rumah agung yang dinding-dindingnya terus dibangun, tanpa pernah selesai. Di sana, suara-suara dari berbagai ruang saling bersahut, dan kita belajar bahwa iman bukan menutup pintu, melainkan membuka jendela agar cahaya masuk dari segala arah. Allahu a’lam bi-Showab.[]

Manisi, 11 Agustus 2025

(Bahan Diskusi SAMARA-Caffe New-Cammaray)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest news

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah sebuah tindakan, melainkan nama. Konon, ia adalah nama sebuah suku...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya bahwa Affan Kurniawan, seorang driver ojol harus meregang nyawa di...

One Piece: Mimpi Kebebasan dan Kemerdekaan

Agustus kembali datang, seperti aliran waktu yang tak pernah lelah mengulang. Baligo, umbul-umbul juga bendera-bendera merah putih bermunculan, berkibar...

Kelana Filsafat di Belantara Sains

"Filsafat adalah seni bertanya yang membuka, bukan ilmu yang menutup perkara." (Anonimous) Filsafat tidak lahir dari kepastian, melainkan hadir dari...
- Advertisement -spot_imgspot_img

Retorika “Dari Bawah”

Seorang teman memperlihatkan potongan video kepada saya yang menampilkan Cak Imin yang mengatakan, “kalau ada yang tak tumbuh dari...

Pusat Makna

“Logika yang sehat tidak menggantungkan nilai pada jumlah tangan yang menepuk, tapi pada ketenangan batin yang tidak diguncang oleh...

Must read

Amok dan Vandalisme: Luka Kolektif dalam Taman Kebersamaan

Vandalisme. Ia datang dari kisah sejarah. Mula-mula ia bukanlah...

Affan: Hilangnya Martabat Manusia

Hingga tulisan ini selesai dibuat, saya masih belum percaya...
- Advertisement -spot_imgspot_img

You might also likeRELATED
Recommended to you