
Kita hidup di zaman yang rumit. Setiap hari kita dikepung oleh banjir informasi, kabar berita sampai dusta. Seumpama tak ada jeda. Tak ada kesempatan untuk sekadar menunda apalagi merenung memikirkan ulang. Sungguh, mata dan telinga bahkan seluruh panca indera yang kita punya 24 jam penuh dipaksa terjaga. Siap siaga untuk menelan dan menerima apapun.
Dipaksa terjaga pada akhirnya sering juga menyebabkan kita terpancing ikut-ikutan untuk menyebarkan informasi, hasutan, bahkan juga dusta. Tak jarang, kita menjadi sulit membedakan mana informasi yang akurat, mana informasi yang sesat. Mana kabar yang benar, mana kabar yang bisa bikin onar. Seumpama tak menjadi dosa, kita leluasa menikmatinya. Kita adalah korban sekaligus sumber ketidakwarasan.
Kita larut dalam ketidakwarasan yang dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Kita tenggelam dalam pusaran informasi, hasutan dan kabar bohong yang bersliweran. Larut sepenuhnya ke dalam cara berada “orang-lain”, menurut Heidegger itulah das-Man. Menurutnya, Das-Man bukanlah manusia autentik. Disebut tidak autentik, karena eksistensinya ditentukan oleh kehendak massa. Oleh gelombang manusia kebanyakan. Oleh isu yang tengah jadi pusaran yang belum tentu kebenarannya.
Das-man mengukuhkan keberadaan orang lain sebagai ukuran buat diri kita sendiri. Cara berada orang lain sedemikian menentukan diri kita. Kita menikmati dan memuaskan diri, seperti orang menikmati. Kita melihat dan menilai seperti orang melihat dan menilai.
Kenali gejalanya. Ia tampak dalam rasa ingin tahu dan melakukan chatting, hasrat memviralkan atau membuat gosip. Duduk santai di korsi sambil ngopi atau makan cemilan dengan ponsel di tangan lalu tenggelam dalam obrolan dan “ikhlas” diseret oleh rasa ingin tahu yang padahal palsu. Meskipun menipu. Itulah cara keberadaan das-Man. Rasa ingin tahu menyebabkan kita menjadi tidak berhenti berceloteh melalui WhatsApp, X, Facebook, IG atau pun media sosial lainnya.
Yang paling menohok, das-Man adalah sosok yang berpikir kalkulatif bukan berpikir meditatif. Katanya Heidegger, berpikir kalkulatif bukanlah berpikir. Das-Man adalah manusia “yang lari dari berpikir” atau “ketiadaan pikiran”. Ketika kita chatting atau memviralkan berita dan informasi kita bekerja seperti mesin, repetitif, berpola. Anehnya, kita merasa berpikir tapi sebenarnya kita sedang mengikuti gerak mekanisme yang berulang setiap saat.
Saat jempol gatal dan kemudian mengetik pesan-pesan atau memviralkan isu atau berita kebanyakan tidak didasarkan pada pemikiran melainkan sekadar meneruskan hal-hal yang mekanis dan repetitif dalam siklus komunikasi yang banal. Itulah zaman kita, ketika pencarian kebenaran direduksi oleh siasat browsing, viralkan atau googling. Tak usah cape-cape berpikir, percayakan saja pada jempol. Ya, das-Man bukanlah manusia yang replektif tapi sosok yang refleks.
Bisakah kita membuka topeng das-Man yang sudah kadung menutupi wajah kita. Mampukah kita menghindar dari berpikir kalkulatif yang telah menyebabkan kita menjadi seumpama robot yang bergerak mekanis dan repetitif?
Luangkan waktu untuk berpikir meditatif, itulah sarannya. Berpikir meditatif adalah fokus, peduli dan memperhatikan eksistensi kita. Berpikir meditatif bukanlah mengutuk ponsel dan hasil tekhnologi. “Sungguh dungu (istilah Rocky Gerung, hehe…) orang yang menyerang tekhnologi. Adalah picik mengutuki peralatan teknis sebagai karya iblis”.
Berpikir meditatif tampil dalam sikap relaks terhadap teknologi. Relaks berarti tidak melekat, tidak terjerat atau tidak tergantung pada teknologi itu. Dalam bahasa agama itulah ikhlas. Ikhlas bukanlah sikap yang pasif atau fatalistis, melainkan tetap waspada. Ikhlas berteknologi adalah sikap menjaga yang terbuka tetap terbuka, membiarkan dunia tetap dunia, dan tidak membiarkan keduanya menentukan siapa kita. Yes. Kita memakai dan memanfaatkannya tanpa diperhamba atau menjadi merelakan diri menjadi hamba tekhnologi. Allahu a’lam[]