
Bagi Rorty, paling tidak, epistemologi adalah “hasrat untuk pembatasan-pembatasan, hasrat untuk menemukan fondasi-fondasi tempat orang bertaut”. Maka menurutnya, epistemologi telah melakukan standardisasi pikiran agar kebenaran yang diperoleh itu universal, objektif dan ahistoris.
Padahal menurut Rorty, tepatnya epistemologi bahkan sainspun tidak lebih daripada bagian percakapan manusia dan tidak boleh mengklaim diri sebagai hakim atas pengetahuan-pengetahuan lain. Karena itu dia mengumumkan tentang akhir dari filsafat. The end of philosophy.
Lalu apa yang bisa menggantikan epistemologi? Rorty lalu menyertakan hermeneutik bukan sebagai metode, disiplin, atau program riset, melainkan sebagai “ungkapan harapan bahwa ruang kultural yang ditinggalkan dengan tersisihnya epistemologi tidak akan diisi”, yakni dibiarkan terbuka.
Lalu apa bedanya epistemologi dan hermeneutik menurut Rorty? Secara umum, perbedaan keduanya sejajar dengan perbedaan antara ‘sains normal’ dan ‘sains revolusioner’ pada Kuhn. Epistemologi tak lain dari ‘diskursus normal’, sedangkan hermeneutik sebagai ‘diskursus abnormal’ yang hasilnya bisa “apa pun dari omong kosong sampai revolusi berpikir”, begitu menurut Rorty.
Ada sekurangnya tiga pokok yang bisa ditegaskan di sini. Pertama, sementara epistemologi menetapkan pengetahuan di atas fondasi-fondasi kebenaran yang stabil, hermeneutik memperlakukan pengetahuan sebagai ‘percakapan umat manusia’ yang bisa berubah dalam ruang dan waktu. Menurut Rorty, bagi epistemologi percakapan adalah penelitian implisit, sedangkan bagi hermeneutik penelitian adalah percakapan rutin.
Kedua, bagi epistemologi, pengetahuan harus berciri universal dan commensurable, tetapi bagi hermeneutik, pengetahuan selalu terkait dengan keragaman kultural, maka berciri incommensurable, yakni tidak memiliki suatu ukuran yang dapat dibandingkan satu sama lain seperti membandingkan apple to apple.
Ketiga, epistemologi mencari episteme, pengetahuan objektif yang secara faktual benar, atau mengandaikan bahwa pikiran adalah cermin alam, sedangkan hermeneutik mencari “phronesis”, kebijaksanaan praktis, dimana kebenaran itu kontekstual dan terkait dengan situasi yang beragam dan dinamis.[]