
Pagi adalah sebuah keniscayaan, tapi pada pagi juga saya menemukan keragaman. Matahari yang tanpa malu-malu menyinari. Burung yang bercicit riang menyambut datangnya siang. Daun yang perlahan goyang seakan tak rela membiarkan embun jatuh akibat hujan semalam. Ya, pada pagi ada tanda-tanda harmoni. Ada jejak-jejak yang agung tentang keintiman.
Momen pagi adalah perayaan tentang segala yang hidup dan tumbuh. Seiring hadirnya sinar matahari, semua entitas memulai melakoni hidup dengan caranya yang khas, tanpa melecehkan atau merasa istimewa kepada yang tak sama.
Perhatikan, burung yang terbang dalam dekapan semilir angin. Padi tumbuh di atas tanah yang basah dan merelakan dirinya menjadi alas kehidupan. Rumput yang berjejal tumbuh di punggung pematang. Semuanya solid menyatu bahu membahu menciptakan orkestra kehidupan. Sungguh! Pagi yang syahdu.
Dalam suasana itu, semuanya punya peran dan fungsinya masing-masing. Seakan tiap bagian menerima dan meneguhkan keberadaan yang lain. “Kehadiranku adalah karenamu. Keberadaanmu menjadi cara kehadiranku”.
Pada suasana pagi, saya tak menemukan stigma dan jarak ekstrim yang menjadi muasal konflik dan ancaman. Justru pada pagi saya menemukan “kita” dan “kerukunan”. Pagi bagi saya adalah pelajaran tentang bagaimana hidup harusnya disusun dan dirumuskan dalam keguyuban dan “kekitaan”.
Dalam keguyuban dan kekitaan tak ada hasrat juga siasat menegasikan yang tak sama dan beda. Mengerdilkan bahkan menafikannya sebagai non-sense dalam kekhasannya. Dalam keguyuban dan kekitaan, yang tak sama dan beda tak hanya diundang untuk datang tapi juga dibiarkan ada karena mereka memiliki hak yang sama untuk ada.
Tak hanya punya hak untuk ada, yang beda dan tak sama adalah jalan untuk mengenal tentang siapa saya. “I require a You to become, becoming I, I say You” (Aku membutuhkan Engkau untuk menjadi, sambil menjadi Aku, Aku berkata Engkau), begitu kata Martin Bubber.[]