
“Kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk memilih, tetapi kebebasan untuk bertindak secara bersama dalam ruang publik yang memberikan arti bagi keberadaan kita.” (Hannah Arendt)
Dalam kalimat ini, Hannah Arendt tidak sekadar berbicara. Ia seumpama menyalakan api kecil dalam kesadaran untuk berani mengoreksi kekeliruan kita dalam memahami makna kebebasan. Bukankah selama ini kita tertipu oleh mitos pilihan? Kita menduga bahwa saat kita memilih pakaian. Memilih pekerjaan. Memilih jalan pulang, kita sedang merayakan kebebasan. Boleh jadi, yang sedang kita rayakan itu hanyalah bentuk lain dari keterasingan yang terbungkus ilusi kendali.
Bisa jadi menggugah apa yang Arendt nyatakan di atas, bahwa kebebasan sejati bukan di ruang privat. Tidak di balik pintu kamar yang terkunci. Tidak di dalam bisikan hati yang tak pernah keluar menjadi kata. Kebebasan sejati adalah keberanian untuk muncul di hadapan yang lain, untuk menyatakan, “Ini aku,” kemudian terdengar yang lain berkata, “Aku melihatmu.” Di situ, kebebasan bukan lagi soal aku, melainkan kita.
Menurut para penutur kebijaksanaan, manusia lahir tidak untuk hidup an sich, tetapi untuk muncul, untuk hadir sebagai sosok yang dikenali dan disapa. Tanpa ruang publik, hidup kita serupa daun gugur di hutan tak bernama. Ia jatuh, membusuk, dan lenyap, tanpa pernah menjadi bagian dari kisah. Arendt mengajarkan bahwa kebebasan bukan hanya kemampuan untuk bertindak, tetapi bertindak dalam terang, di dunia yang bisa menyimpan jejak. Dalam ruang yang merawat kenangan keberadaan kita.
Di sana kebebasan menjelma tindakan. Tindakan itu tidak soliter, tidak egoistik, ia bersama. Ia adalah kita yang berbuat, yang bicara, yang membangun dan meruntuhkan, kita mengisi waktu dengan keberanian, bukan dengan kesunyian yang takut dilihat.
Dan dalam tindakan bersama itu, dunia menjadi mungkin. Kita menyangka kita bebas saat kita memilih. Tapi sesungguhnya kita bebas saat kita berbicara. Saat kita mendengar. Saat kita bertindak bersama. Saat kita, sebagai komunitas jiwa, menciptakan dunia baru melalui kehadiran kita yang otentik dan tak tergantikan.
Dengan itu, rasanya kebebasan sejati bukan sekadar memilih, tapi bertindak. Bukan sendiri, tapi bersama. Bertindak, bukan dalam ruang kosong, tapi dalam ruang yang memberi makna. Makna itu adalah keberadaan kita, yang dikenali, yang diingat, yang hidup.
Ada gema dalam pemikiran Arendt di atas, kita dituntun menuju kebenaran lama yang kerap dilupakan. Manusia hidup bukan untuk menyendiri. Manusia ada untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar melampaui dirinya.
In optima forma, kebebasan sejati hanya tumbuh saat kita menjadikan ruang publik bukan sebagai medan konflik, tapi sebagai rumah perjumpaan. Tabik!
Allahu a’lam[]